TKP lebih riuh dan panas dari yang kuduga. Api berkobar begitu besar. Tidak hanya membakar satu-dua gedung, api sudah menjalar ke lima gedung empat lantai. Embus angin yang cukup besar membuat api semakin cepat merambat.
Aku segera menggunakan tanda pengenal dan membuka lensa kamera. Beruntung Putri berbaik hati membawakan kamera pribadiku dari rumah sewa kami.
Wartawan SBS berkumpul cukup jauh dari kerumunan. Mereka akan mengambil video untuk siaran langsung.
Dari data yang disebar melalui grup asosiasi wartawan, kebakaran terjadi karena sebuah ledakan dari bawah tanah. Sampai sekarang belum diketahui bagaimana ledakan itu bermula.
Sampai saat ini, diperkirakan ada sekitar 600 orang yang berada di dalam gedung saat ledakan terjadi. Namun 477 sudah selamatkan diri walau 438 orang juga mengalami luka bakar yang cukup serius. Jumlah korban selamat masih terus dilaporkan meski aku tak dapat memeriksanya lewat ponsel saat ini.
Aku mulai mengambil gambar, juga beberapa video. Tanpa sadar, semakin melangkah ke depan. Mengikuti seorang wartawan foto dari Reuters. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali, kalau tidak salah namanya Johnny.
"Ke sana!" ajak Johnny. Ia menunjuk ke arah sebuah gedung yang digumuli asap hitam.
Dia sadar kalau aku mengikutinya?
Pemadam kebakaran sedang berjibaku dengan api yang tak kunjung padam. Ini mungkin sudah setengah jam sejak kabar disiarkan di grup asosiasi. Api justru semakin membesar.
Aku sibuk memotret. Gambar tiga orang pemadam kebakaran yang sedang distribusi selang. Gambar seorang korban yang berhasil lolos dari gedung keempat. Gambar jilatan api beserta kepulan asap yang besar.
"Astaga! Kalian! Bahaya! Pergi sana!" usir salah seorang petugas pemadam kebakaran.
Aku masih sibuk mengambil gambar, tak terlalu peduli dengan apa yang petugas itu katakan.
"Kami serius, Tuan, Nona. Kami menduga adanya kebocoran pipa gas alam. Sangat mungkin ada ledakan susulan. Tim masih mencari sumber kebocorannya. Tolong mundur," ujar salah seorang pemadam kebakaran sambil memberi gestur pada kami berdua untuk mundur.
"Kebocoran pipa gas?" tanya Johnny.
"Ya. Sekarang mundurlah."
Aku melangkah mundur barang beberapa langkah. Begitu juga Johnny. Kami masih berusaha mundur dengan langkah sekecil mungkin agar tak perlu terlalu jauh dari lokasi.
Sampai tiba-tiba, BUM!
"Aaaa!" Kerumunan menjerit. Mereka kalap dan segera menghambur ke segala arah.
"Lari!" Johnny menarik lenganku. Aku tergesa mengikuti langkahnya. Ia membawaku entah ke mana.
Seluruh tubuhku sudah lemas dan gemetar. Namun kami tak boleh berhenti. Sebab saat aku menoleh ke belakang, aku dapat melihat jelas bagaimana cepatnya api itu merambat dari gedung ke gedung. Melahap setiap yang dilewatinya.
"Astaga! Jangan lihat ke belakang, Bodoh! Lari saja!"
Seluruh tubuhku sudah berkeringat. Hawa panas benar-benar mengepung kami. Tapi aku tak boleh menyerah. Tiba-tiba aku terjatuh. Tangan Johnny lepas dariku. Desak-sesak kerumunan membuatku terinjak beberapa kali. Dan aku lebih peduli pada kameraku.
"Ya! Wartawan NHK!" seru Johnny. Ia sepertinya memanggilku. Suaranya semakin mengecil sampai akhirnya menghilang.
"Johnny-ssi!" sahutku keras-keras. Tapi tak ada jawaban. Aku juga sudah tak dapat lagi melihatnya. Ia mungkin sudah jauh terseret kerumunan.
Aku melihat ke belakang, api masih merambat meski tak secepat tadi. Aku sedikit batuk. Sambil mengusap wajahku, segeralah aku bangkit. Berlari pincang dengan tergopoh-gopoh.
Kakiku sudah linu seluruh. Aku melihat ke lutut dan tulang keringku yang sudah penuh gores dalam serta darah.
Belum juga aku berdiri sepenuhnya, seseorang telah menubrukku lagi. Kemudian seorang lagi. Hingga aku terjatuh ke posisi berlutut. Meski sempat meringis sedikit, aku kembali bangkit.
Aku mendesis sambil berlari kecil. Merasakan sakit di kaki kiriku yang tidak dapat ku elak lagi. Tidak ada berita seharga nyawa, seharusnya aku ingat itu sejak awal. Tapi aku tak dapat mengulang waktu dan hanya dapat berharap.
Aku terus berusaha berlari sambil menyeret kaki kiriku. Berjalan dengan kondisi seperti ini membuat langkahku begitu lambat. Astaga! Aku jadi kesal sendiri!
Seseorang menubrukku lagi. Kali ini sampai tubuhku terpelanting. Namun baiknya, ia mencoba mengulurkan tangan, mengajakku berdiri dan berlari bersama. Sayangnya ia justru terseret kerumunan.
Aku mencoba berdiri lagi. Mencoba berlari lagi. Sampai seseorang menubrukku lagi. Untuk kesekian kalinya aku terjatuh. Namun orang itu juga sama terjatuh.
Apa dia gila? Dia datang ke arah api!
Aku mengangkat wajahku, melihat ke arah orang itu. Dengan amat terperangah, aku melihat sosoknya yang begitu familiar. "D-Dokter Lee?"
Aku mengucak mata. Ah, ia benar-benar Dokter Lee!
Kenapa dia di sini?
Ketika mata kami bersiborok, ia segera bangkit dari duduknya. Tanpa aba-aba, ia membopongku dan berlari sekuat tenaga menjauhi api. Dengan tangannya, ia menenggelamkan kepalaku ke dadanya. Menjaga wajahku agar terhindar dari panas api.
"Dokter, kenapa kau di sini?" Aku sedikit mengintip ke atas, melihat wajahnya yang begitu tegang. Peluh menetes dan melingkupinya. Bahkan bajunya pun kini begitu basah.
Aku masih menunggu jawaban yang tak kunjung datang jua. Ia benar-benar konsentrasi untuk mencari jalan keluar. Beberapa orang menabrak kami. Tapi aku beruntung Dokter Lee memiliki postur yang kuat. Ia hanya membiarkan mereka berlalu, seperti tak terjadi apapun. Ia bahkan tak goyah sama sekali.
"Sebentar lagi, Jinan-ah," gumam Dokter Lee. Ia masih fokus pada riuh-rendah di hadapannya.
Seiring dengan pandanganku yang mengabur, aku mulai menenggelamkan kembali wajahku ke dadanya. Mencari irama setengah ribut yang dapat membuatku tenang:
Detak jantungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanfictionTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.