A Normal Day in Dongjak

62 13 0
                                    

Ketika kami berjalan di lorong tadi, Dokter Na segera menarik Dokter Lee untuk ikut dengannya. Mereka pergi ke salah satu kamar pasien yang aku lupa ruangannya. Kondisi pasien itu sedang kritis, kira-kira seperti itu yang Dokter Na katakan tadi.

Sekarang, aku harus berdiri di sini. Memandangi Shin Yuna yang tengah duduk tepat di samping kasur Jisung. Tadi, saat kami baru saja memasuki ruangan, Shin Yuna segera menghambur untuk memeluk pria itu.

"Hei, kau bilang ingin membuktikan pada Ayah kalau kau cukup kuat untuk melindungiku. Ayo, apa kau menyerah?" 

Shin Yuna hanya memandangi Jisung dengan lembut. Aku jadi mengingat kemarin saat aku berada di posisi Shin Yuna.

Ah, benar juga. Kemarin rasanya aku masih sangat menyukai Jisung. Aku bahkan berkali-kali menangisinya. 

Apakah mungkin perasaan seseorang dapat berubah hanya dalam satu malam? Atau antara aku dan Dokter Lee hanya terbawa suasana?

Sekelebat. 

"Aku tak terbawa suasana oleh semua wanita, Jinan-ah." 

Sekelebat. 

"Aku memang menginginkanmu. Jadi berhenti menyebutnya terbawa suasana."

"Jisung, aku sangat mencintaimu. Maaf sudah memintamu pergi waktu itu. Aku tak bersungguh-sungguh," ujar Shin Yuna. Ia memecah lamunanku, mengembalikanku ke alam sadar. Kulihat, Shin Yuna sangat erat menggenggam tangan Jisung, mengunci jari-jarinya di sela jemari pria itu.

Aku tersenyum. Sekelebat. Aku kembali ke masa kuliahku dulu. Saat aku melihat Jisung menggenggam tangan Putri sambil berjalan ke arah parkiran motor. Aku mengingat semuanya. Bahkan rasa panas dan berkecamuk di dalam dadaku. Pun saat aku mengunci kamar kos ku selama sehari penuh hanya karena merasa patah. 

Tanpa disengaja, aku kembali memanggil rasa sakit itu. Seberapa aku merasa dilukai tanpa ada yang melukaiku.

Hari ini kenapa tidak perih seperti saat itu?

"Jinan-ssi, kau bilang dia akan bangun saat aku datang, tapi dia tidak bangun juga," ujar Shin Yuna. Nadanya terdengar begitu putus asa.

"Shin Yuna-ssi..." Aku bingung harus berkata apa.

"Apa mungkin dia sudah tidak mencintaiku lagi ya?" Shin Yuna tertawa miris, sambil mengusap air mata yang terjatuh dari mata kirinya.

"Jangan bicara begitu, dia sangat mencintaimu."

Shin Yuna tertawa. Atau lebih tepatnya, menertawakan diri sendiri. Ia lalu kembali menatap wajah Jisung dengan seksama. 

Sama seperti yang selalu Dokter Lee katakan padaku, 

"Percayalah sedikit, Jinan-ssi." "Pecayalah padaku." "Aku berharap kau percaya padaku."

"Percaya padaku, Shin Yuna-ssi."

"Tenanglah."

"Tenanglah."

Shin Yuna menoleh, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih untuk banyak hal, Jinan-ssi."

Gadis itu lalu menenggelamkan wajahnya, sedikit di samping Jisung.

"Kau mau aku keluar dulu? Barangkali ada banyak hal yang ingin kau sampaikan pada Jisung?"

Shin Yuna tersenyum lagi. "Terima kasih."

Aku mengerti, segera keluar dari kamar 127. Sambil menutup pintu, aku bergumam, "Bangunlah, Jisung. Seseorang yang sangat kau inginkan sedang menunggumu."

---

Putri berlari menghampiriku. Entah dari mana ia tahu kalau aku sedang duduk di taman rumah sakit sambil menimang-nimang artikel laporan kecelakaan Yongsan yang baru saja kucetak. Ia kontan duduk di sampingku. Tampak terengah, sambil memegangi dadanya.

"Kenapa lo?" tanyaku. Dengan bahasa Indonesia, tentu.

"Duh, yang di kamarnya Jisung tuh Shin Yuna kalik, ya? Gue kaget banget! Untung pintunya belum gue buka."

"Iya, Shin Yuna."

"Tuh, kan. Bisa salah paham lagi dia kalau lihat gue di sini."

Aku tertawa, lalu menaruh laporanku di atas paha. "Lo bisa jelasin keadaan lo ke Shin Yuna. Jujur aja."

"Keadaan apa? Emangnya gue kenapa?"

"Soal lo yang mau nikah sama Dokter Wong lah, Putri. Masak soal lo yang kemarin ciuman lagi sama Jisung!" Aku memukul kecil pelipis Putri.

Sedang empunya kepala masih diam dengan wajah berkerut. Pasti ia tengah kusut memikirkan sesuatu. "Eh, aduh! Iya woy! Aduh, kemarin kenapa sih gue bisa-bisanya kayak gitu! Aduh! Kalau Lucas tahu, gue bisa diputusin."

"Haha. Bagus lah. Biar Dokter Wong buat gue," godaku sambil tertawa terbahak-bahak.

"Hei! Bisa-bisanya! Bisa-bisanya!" Putri menampar kepalaku gemas. Sedang aku hanya dapat terkekeh karena wajah panik yang dengan hebatnya dapat Putri sembunyikan di balik tingkah lakunya.

"Ya daripada dia sama lo yang kayak gitu! Hahaha."

"Kemarin gue cuma kebawa suasana aja, Ji, sumpah," jelas Putri. 

Aku hanya mengangguk dengan penekanan untuk sedikit menggodanya. Meski begitu, mataku sama sekali tak mengarah pada Putri. "Iya, oke."

"Ji, kemarin juga gak yang gimana, Ji," Putri masih berusaha menjelaskan.

"Iya, oke."

"Lo jangan gitu dong!" Putri menampar lengan kiriku. "Lo juga pasti terjadi sesuatu kan sama Dokter Lee?"

"Eh? Enggak!" Aku bergerak mundur.

"Haha! Mana mungkin! Pasti ada yang iya iya antara lo berdua, sampai ditembak gitu."

Aku langsung menepuk wajah, menyembunyikan rasa malu yang entah dari mana datang menyeruak. "Jangan bahas itu, Put. Gue malu banget, sumpah."

"Ah, cie!" Putri mencubit pipiku. Entah bagaimana ekspresinya sekarang. "Romantis banget sih Dokter Lee ke lo. Padahal cuma lewat kata-kata. Coba gue, dilamar Lucas aja kemarin cincinnya hampir gelinding ke Sungai Han."

"Hah?" Aku membelalakkan mata.

"Jangan bahas itu udah, gue masih kesal. Untung tangannya panjang, jadi ketangkap lagi."

Aku mengangguk, sambil menunjukkan wajah miris.

"Ayo, jangan bahas itu! Bahas Dokter Lee aja."

Aku menghela napas, lalu mengalihkan pandanganku ke arah beberapa pasien lansia yang duduk di atas kursi roda sambil didorong oleh sanak-saudaranya. "Dokter Lee ya?"

Putri mengangguk. Matanya berbinar, seolah menunggu kelanjutan kalimatku.

"Put, mungkin gak, perasaan orang berubah dalam waktu semalam?"

Putri terperangah. "Ya mana gue tahu! Lo aja ngerasanya gimana?"

Sudah kuduga, pasti akan ia jawab begitu.

Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang