Ponselku berdering. Itu dari editorku di NHK. Dengan sigap, aku mengangkat telepon darinya.
"Jinan-san, maaf mengganggu pagi-pagi. Aku sudah lihat email darimu semalam. Kau menulis berita kebakaran di Seocho ya?" tanya editorku. Aku biasa memanggilnya Nakamoto-san.
"Ya, Nakamoto-san. Apa laporan yang kukirim semalam kurang lengkap?" tanyaku, sambil membuka kembali berkas laporan kebakaran Seocho yang dini hari tadi kukirim ke email NHK.
"Bukan begitu, aku hanya terkejut," ujar Nakamoto-san. Ia lalu menghela napas. "Tumben sekali kau tidak mengabariku dulu sebelum liputan."
Aku mengernyitkan dahi. "Eh? Aku menghubungimu, kok."
"Kapan?"
"Kemarin sore, saat mau berangkat ke sana, aku menghubungimu."
"Sungguh? Tidak ada pesan yang masuk," ujar Nakamoto-san.
"Eh?"
Aku segera menekan tombol 'beranda' di ponselku, lalu mengetuk ikon pesan. Di sana, aku dapat menjumpai daftar beberapa pesan terakhir yang kukirim. Urutan pertama, untuk ayahku. Urutan kedua, untuk Putri. Urutan ketiga,
Dokter Lee?
"Mungkin kau belum menekan tombol kirim, Jinan-san," ujar Nakamoto-san dengan tawa kecil.
Aku menekan pesan itu, melihat isinya.
Nakamoto-san, aku akan segera berangkat ke Seocho. Ada kebakaran di pusat pertokoan di sana. Tenang saja, aku bersama teman-teman wartawanku dari SBS. Jadi jangan terlalu khawatir. Oh, iya, laporan lengkapnya akan menyusul.
"Ck!" Aku segera memukuli kepalaku dengan bantal.
"Jinan-san."
Aku tak terlalu mendengarkannya. Masih sibuk untuk memukuli kepalaku dengan bantal.
"Jinan-san."
Aku berhenti. Segera sadar, lalu kembali fokus pada ponselku. "A-ah, ya, Nakamoto-san. Sepertinya aku salah kirim."
"Oh, haha! Kau ini benar-benar!" Nakamoto-san tertawa cukup besar. "Omong-omong, aku mengapresiasi hasil fotomu. Semuanya sangat baik. Apa kau mengambil foto-foto itu dari angle yang sama dengan wartawan Reuters?"
"Ya. Kemarin aku sangat dekat dengan pemadam kebakaran. Aku mengikuti seorang wartawan Reuters."
"Oh, astaga. Kau tidak terluka? Di laporanmu tertulis kalau ada satu kali ledakan susulan dari toko bahan-bahan kimia. Apa posisimu saat itu dekat dengan toko itu?"
"Sangat dekat, Nakamoto-san. Beruntung wartawan dari Reuters itu menarikku saat lari, dan..."
Sekelebat aku mengingat bagaimana Dokter Lee mengangkat tubuhku, membopongku dalam kukungannya. Aku ingat dengan sangat jelas. Terlalu jelas sampai aku tak ingin ingatan itu terhapus dari dalam kepalaku.
"Dan juga... ada seorang dokter yang datang untuk menyelamatkanku." Aku terseyum kecil mengingat kejadian kemarin.
"Oh! Wow! Seorang pria?"
"Begitulah," jawabku ragu.
"Namanya Dokter Lee?"
Aku membelalak panik. "N-Nakamoto-san, bagaimana k-kau tahu?"
"Haha! Buka lagi laporanmu. Di halaman kelima, paragraf keempat, kalimat terakhir."
Mataku mengikuti seruan Nakamoto-san. Sampai tiba-tiba mataku terhenyak oleh sebuah kalimat,
Dokter Lee, apa kau benar-benar menyukaiku?
"Ck. Astaga," gumamku sambil memukuli pelipisku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
Fiksi PenggemarTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.