Setelah hari itu, kupikir hubunganku dengan Dokter Lee akan merenggang. Tapi ternyata tidak. Meski canggung, kami masih sering bertegur sapa. Kami juga banyak pergi bersama walau tidak pernah berdua. Tentu, untuk membantu Putri dan Dokter Wong mengurus pernikahan mereka.
Aku seharusnya lega karena kami masih baik-baik saja. Meski rasanya benar-benar seperti teman biasa. Hanya saja, ia memanggilku "Jinan-ah". Tapi... aku malah khawatir karena ia tak pernah lagi membahas "kami" sama sekali.
Mungkin, ia berubah pikiran?
Tapi jika aku berpikir jernih, seharusnya aku bersyukur. Dokter Lee seolah memberiku keleluasaan waktu untuk mengukuhkan keyakinanku sendiri. Seperti yang Dokter Lee katakan padaku di hari itu, ia percaya padaku. Jadi aku sangat ingin percaya padanya sampai kapanpun.
"Dokter." Aku membungkukkan tubuh saat melihat Dokter Na keluar dari sebuah kamar pasien.
Dokter Na tersenyum sedikit padaku, lalu pergi ke arah kantin.
Setelah ia pergi, aku menoleh ke arah kamar yang baru saja ia tinggalkan. Tercetak nomor '127' di pintunya. Aku tersenyum sedikit, lalu mendekat ke arahnya. Melihat ke dalam jendela. Ada seorang gadis kecil yang sedang tertidur pulas. Tubuhnya terbungkus selimut putih sampai sebatas dada.
"Mimpi indah," gumamku sambil tersenyum.
Sudah berapa lama sejak gadis kecil itu berbaring di sana. Menggantikan Jisung yang sempat jadi atensi semua orang. Jisung sudah pulang ke apartemennya di Mapo sejak akhir April. Kondisinya sempat naik-turun, namun akhirnya ia sembuh dan diperbolehkan rawat jalan.
Aku jadi tahu banyak tentangnya dari Shin Yuna. Gadis itu bilang, orang tua Jisung meninggal dalam perjalan bisnis. Shin Yuna bertemu dengan Jisung di pemakaman. Semacam cinta dari berbagi empati, yang entah bagaimana dapat dilakukan di pertemuan pertama mereka.
Membuatku terharu saja!
"Jinan-ssi."
Aku menoleh. "Ya, Dokter Wong?"
"Aku dengar pakaian kalian jadi hari ini, tapi Jeno akan pergi siang ini. Jaemin juga sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan lab. Perawat Han juga, ia harus berjaga di unit gawat darurat. Jadi bisakah aku percayakan padamu?" Dokter Wong tersenyum.
Aku mengangguk. "Ah, tentu, Dokter."
"Tidak masalah pergi sendirian?"
"Sama sekali tidak."
"Terima kasih. Aku harus segera pergi ke Rumah Sakit Yongsan. Ada yang harus aku urus."
Setelah aku mengangguk, Dokter Wong segera pergi meninggalkanku.
Aku tidak habis pikir dengan Dokter Wong dan Putri yang masih saja gila kerja meski pernikahan mereka akan berlangsung lusa. Anehnya lagi, mereka masih sempat mengurus semua kebutuhan. Bahkan sempat beberapa kali berkencan juga. Oh, bagaimana cara mereka mengatur waktu begitu?
Aku menghela napas, lalu pergi keluar gedung rumah sakit.
---
Aku agak repot karena harus membawa dua pasang gaun dan setelan tuxedo, dan aku tak punya cukup uang untuk membayar kurir butik. Jadi sudah kuputuskan untuk melibatkan Johnny. Kami jadi semakin dekat sejak liputan May Day pada 1 Mei silam. Kali itu, aku yang menyeretnya agar tak terinjak kerumunan.
"Aduh, kau ini! Aku bahkan tidak diundang!" gerutu Johnny sambil keberatan karena harus memboyong tiga pakaian lainnya. Aku hanya membawa satu. Gaunku sendiri.
"Jangan menggerutu terus! Bajunya tidak akan jadi ringan jika kau hanya menggerutu!" sahutku sambil tertawa.
Wajah Johnny sudah benar-benar kusut. Bukan soal tumpukan baju yang berat. Namun soal hatinya yang tak ikhlas menolongku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanficTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.