Pihak kepolisian, yang kutahu juga bernama Tuan Lee, mulai mencari data mengenai Shin Yuna di Hannam. Semua data lengkap memang dimiliki kepolisian. Dan beruntunglah Dokter Lee orang yang sangat penting di rumah sakit, pun relasinya begitu luas. Jadi ia dapat dengan mudah mendapatkan informasi.
"Shin Yuna dari keluarga Shin. Oh astaga, bukankah dia anak semata wayang dari Shin Jisung?" tanya Polisi Lee pada dirinya sendiri. "Ah, benar!"
"Mark, kau pikir semua orang mengenal Shin Jisung?" tanya Dokter Lee.
"Aku tahu Shin Jisung!" ujarku. "Dia seorang miliarder. Ia banyak berinvestasi di media swasta luar negeri dan bahkan memiliki saham di Alibaba. Dia benar-benar orang penting untuk perekonomian Korea."
"Oh, wow!" seru Dokter Lee, matanya membesar. "Kau membuatku ingin pulang sekarang."
Aku mengangguk. "Dia sulit sekali ditembus, aku pernah mencoba mewawancarainya, tapi gagal. Ia hampir tak pernah menetap di Korea."
Polisi Lee menatapku dengan senyum sumringah. Matanya seperti berbinar. "Kau mengagumkan."
Aku terkejut. Sedikit tersentuh. Lalu tersenyum tipis. "Terima kasih, Polisi Lee."
"Aku bisa bayangkan seberapa banyak lagi orang-orang penting di dunia ini yang pernah kau wawancarai," ujar Polisi Lee sambil sesekali berdecak kagum.
"Aku tidak sehebat itu," jawabku malu-malu. Sedikit, aku mencuri pandang ke arah Dokter Lee. Ia hanya bersedekap sambil menunduk, melihati ujung kakinya. Punggungnya bersandar pada sebuah tiang berwarna kuning gading. Ia pasti merasa bosan.
"Jangan merendah untuk meroket, Jinan-ssi," ujar Polisi Lee sambil tertawa. "Ah, omong-omong, kau butuh data yang lain?"
Deg. Aku ingat! Sesuatu yang ingin kutahu sejak kami berada di Kantor Kepolisian Ichon. "Polisi Lee, um, kau bisa membuka data di luar Hannam?"
"Kami punya data lengkap seluruh warga Korea Selatan. Uh, sebenarnya semua kantor polisi memilikinya. Kau butuh data apa, Jinan-ssi?"
"Park Jisung, lahir di 2002, putra tunggal dari Park Chanyeol."
"Park Jisung..." Polisi Lee bergumam sambil jemarinya sibuk bermain di atas keyboard komputer. "Huh? Bukankah ia salah satu pasienmu, Jeno?"
"Bagaimana kau tahu?" tanya Dokter Lee.
"Dia korban Tragedi Yongsan, kan? Semua data korban telah disebar ke seluruh kepolisian di Korea, Seoul terutama. Data itu juga memuat rumah sakit tempat korban dirawat. Kau tahu kan kalau korban ditaruh ke beberapa rumah sakit untuk mempermudah perawatan?"
"Ya, kami tahu soal itu. Turuti saja keinginannya," ujar Dokter Lee sinis. Ia menunjukku dengan dagu. Lalu kembali acuh tak acuh.
"Apa yang ingin kau tahu, Jinan-ssi?" tanya Polisi Lee.
"Alamatnya."
"Ah, di Distrik Mapo. Sepertinya dia tinggal bersama orang tuanya. Alamat mereka sama," ujar Polisi Lee. "Huh? Orang tuanya meninggal karena kecelakaan sejak dua tahun lalu?"
Tidak. Ini tidak benar. Jisung benar-benar sendirian selama ini. "A-alamat lain?"
Polisi Lee menggeleng. "Hanya itu saja yang bisa kutemukan. Ya! Jeno! Bukankah data kami dan sama persis dengan data rumah sakit? Kenapa tidak kau beri tahu saja dia?"
"Aku sudah mengatakannya." Dokter Lee melengos pergi keluar ruangan. Alis matanya menukik tajam ke bawah. Air wajahnya tampak begitu kaku, sama seperti tubuhku yang masih kikuk menatapi jejak kepergiannya.
Apa dia marah?
"Dia marah," ujar Polisi Lee tiba-tiba.
---
"Dokter Lee! Tunggu!" teriakku sambil berlari kecil menuruni tangga.
Dokter Lee berhenti melangkah. Ia berbalik ke arahku. Wajahnya masih kaku seperti tadi. Meski tampak mengerikan di mataku, namun aku tetap menghampirinya. Berusaha dengan sikap senormal mungkin. Aku tak ingin tampak canggung di hadapannya.
"Dokter Lee, kau marah?" Aku menelaah wajah pria yang jauh lebih tinggi dariku itu.
"Kau butuh tahu apa lagi tentang Jisung?" tanya Dokter Lee sambil membuang muka.
Aku menegapkan tubuh, lalu menundukkan kepala. Melihat ke arah ujung sepatuku. "Aku... benar-benar ingin tahu di mana Jisung tinggal selama ini. D-dia mungkin tinggal di apartemen."
Dokter Lee tersenyum miring, lalu menendang kerikil di depan kakinya.
"Apa kau tahu daerah apartemen atau rumah sewa di Mapo?" lanjutku lagi.
"Tidak."
"Aku ingin tahu apakah ia hidup dengan layak di sini. Aku be-"
"Aku tinggal sendiri di apartemen sejak usiaku 18, dan aku masih hidup sampai sekarang," ujar Dokter Lee ketus.
"D-Dokter?"
Dokter Lee tertawa miris. "Jinan-ssi."
Aku menatapnya. Memberanikan diri meski sedikit merasa gentar.
"Bisakah kau tidak khawatir berlebih pada pria berusia 25 tahun? Dia bahkan sudah bisa berkeluarga jika dia mau."
Aku diam. Atau lebih tepatnya, mematung. Tangan kananku sedikit bergetar akibat intonasi tinggi dokter Lee. Sorot matanya benar-benar tajam, entah apa yang membuatnya begitu.
"Kau ke sini untuk mencari Shin Yuna? Kau ingin mencari Shin Yuna, kan? Kau sudah dapat informasi tentangnya, lalu untuk apa lagi mencari tahu soal Jisung? Kau bisa langsung membawa Shin Yuna ke rumah sakit!"
"Aku-"
"Kau bisa tanya langsung pada Jisung setelah dia sadar nanti, Jinan. Sepuasnya."
"Kau marah karena aku bertanya tentang Jisung?"
Dokter Lee berdecak kesal. "Kau pikir aku marah karena itu? Haha. Kau ini. Apa percaya padaku selalu sesulit itu? Kemarin aku sudah mengatakan banyak hal tentang Jisung, kan? Apa kau lupa? Aku tak habis pikir. Kau benar-benar tak percaya padaku meski aku memberimu data negara? Kau masih harus memastikan itu dari mulut orang lain?"
Aku terdiam.
Jinan bodoh!
"Jinan-ssi, jika kau masih ingin mencari Shin Yuna atau di mana Jisung tinggal, lanjutkan saja sendiri. Aku akan kembali ke rumah sakit."
Aku masih mematung. Sedang Dokter Lee masuk ke dalam mobilnya. Samar-samar dapat kulihat raut marahnya dari balik kaca mobil.
"Kapan aku pernah mengajakmu?" gumamku.
Sementara aku masih membatu, mobil Dokter Lee telah melaju. Ia meninggalkanku dengan begitu cepat. Aku bahkan tak sempat menerawang ke dalam mobil itu lagi.
Ah, Dokter Lee benar-benar meninggalkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanfictionTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.