"Cengeng sekali," kata Dokter Lee sambil mengoper selembar tissue padaku.
"Diam."
Dokter Lee tertawa kecil. "Jinan-ah, bukankah wartawan juga sudah biasa diusir?"
Aku mengangguk. "Aku selalu terharu saat berhasil, tapi kali ini lebih terharu dari biasanya."
"Ya, baiklah. Aku paham." Dokter Lee mengangguk, masih tertawa sambil sesekali mencuri pandang ke arahku. "Tapi, Jinan-ah, aku tak mengerti. Sebenarnya kau tak perlu sampai ke sini jika itu tentang Putri. Dia sudah bilang sendiri kalau dia akan tetap memilih Lucas apapun yang terjadi, kan? Itu artinya antara Jisung dan Putri itu sudah tidak ada apa-apa lagi."
"Aku punya firasat lain, Dokter."
"Ah, inilah mengapa banyak gadis terjebak pada satu pria brengsek. Mereka terlalu percaya intuisi."
"Inilah mengapa banyak pria yang memilih jadi brengsek. Mereka tak percaya intuisi."
"Itu di jurnalistik?"
"Itu di kedokteran?"
Haha! Yang benar saja!
Kami tertawa bersama.
"Lagipula aku ke sini bukan hanya untuk Putri, Dokter. Aku ingin membawa Shin Yuna kembali pada Jisung. Ingat?"
"Ah, iya, aku lupa dengan janjimu itu. Oh, kau juga janji untuk memisahkan aku dari Nancy! Jangan sampai lupa."
Aku tertawa. "Iya, iya, aku tidak lupa."
Dokter Lee membelokkan mobilnya, masuk ke dalam sebuah hotel kecil, lalu memarkirkan mobilnya di basement.
---
Aku baru selesai mandi. Masih mengeringkan rambutku dengan handuk hotel. Kalau kuingat lagi, aku belum mandi sejak kemarin pagi. Mendapat kesempatan untuk mandi air hangat setelah perjalanan panjang itu rasanya luar biasa.
Tiba-tiba ponselku berdering. Dokter Lee? Aku mengangkatnya.
"Jinan-ah."
"Kenapa telepon, Dokter Lee?"
"Ayo kau ke balkon."
"Hm? Ada apa?" tanyaku bingung. Aku menoleh ke arah balkon yang ditutup sebuah pintu kaca bertirai putih transparan. Padahal baru saja aku akan merebahkan diri di atas ranjang.
"Pokoknya ke balkon."
Aku mengambil mantelku, lalu memakainya kembali. Segera aku melangkah ke arah balkon, membuka pintu kacanya, dan merasakan angin yang berembus begitu sejuk. Entah bagaimana caranya, angin dingin itu berubah menjadi nyaman ketika menerpa kulit wajahku. Pun terang dari bintang dan lampu-lampu Hannam membuat hatiku tenang.
"Jinan-ah!" seru seseorang dari balkon sebelah kiri kamarku.
"Dokter!" Aku melambaikan tangan, menjauhkan ponselku dari telinga.
"A- -u -um -ti-u?"
Aku mengernyitkan dahi. "Dokter aku tak bisa dengar apa yang kau katakan."
"A-" Dokter Lee mengerutkan dahi. Menatapku bingung.
"Aku tidak bisa dengar!" seruku.
Dokter Lee menunjuk ponselnya. Ia memberiku isyarat agar kami kembali saling terhubung lewat telepon. Jadi aku mengangkat ponselku, lalu kembali mendekatkannya ke telinga. Entah sejak kapan kami saling berhadap-hadapan.
"Kalau begini kau bisa mendengarku?" tanya Dokter Lee lewat telepon.
"Ya, Dokter." Aku mengangguk semangat. "Sangat jelas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanficTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.