A Warmest Cold Night

86 18 2
                                    

"Jalan rumahku bukan ke sini, Dokter Lee," ucapku lelah. Sudah berapa kali aku harus bicara begini padanya?

"Bukankah kau seharusnya berterima kasih karena sudah dapat tumpangan? Jangan mengeluh terus. Ayo lihatlah dunia dari sisi positifnya."

"Oke. Lalu kita tersesat. Lalu sisi positifnya adalah tidak ada. Ayo, ini kau salah jalan! Ke kiri! Ke kiri!"

Dokter Lee segera berbelok, mengikuti arah jariku.

"Jadi kau benar-benar akan mencari Shin Yuna?"

"Begitulah, Dokter. Aku pikir akan sulit jika tanpa Shin Yuna."

"Bagaimana?" tanya Dokter Lee heran.

"Sepertinya, Putri masih punya sedikit perasaan pada Jisung. Meski mungkin sudah tak seperti dulu, tapi ia masih mencintainya."

"Dia mengatakannya?"

Aku menggeleng. "Aku melihatnya, mendengar caranya bercerita, lalu menarik kesimpulan."

"Bagaimana dia bercerita?"

Aku tertawa miring. "Bagaimana aku bisa menceritakannya? Ah, belok kiri."

Dokter Lee tak membelokkan stirnya. Ia malah melaju dengan sedikit lebih cepat.

"Ya! Kenapa lurus?"

"Aku masih mau dengar ceritamu. Ayo bicara lagi!"

"Baiklah." Aku menarik napas. "Dokter, aku agak lega sekarang. Setidaknya aku tahu kenapa mereka putus waktu itu."

"Oh, menarik. Kenapa?"

"Jisung itu haha, dia pencemburu rupanya. Dan dia banyak mempermasalahkan hal-hal kecil. Padahal Putri sibuk sekali di akhir perkuliahan."

"Tapi Jisung tidak mengerti?"

Aku menggeleng. "Dia, biar bagaimanapun dua tahun lebih muda dari Putri, dan aku tidak tahu seperti apa perkuliahan di Korea berjalan. Jadi mungkin Jisung tak terbiasa dengan jadwal padat dan teman-teman baru Putri."

"Oh, haha, dia Nancy sekali."

"Lalu, suatu hari Putri bilang padanya, bahwa bagaimanapun mereka berusaha, Jisung memang belum siap untuk menjalin hubungan. Di situlah Jisung merasa sangat gagal. Ia ingin minta maaf di hari wisuda Putri, tapi ia malah mengacaukan semuanya."

"Oh, wow, di kedokteran namanya rumit yang sederhana."

"Di jurnalistik namanya sederhana yang rumit."

"Hahaha! Ayo lanjutkan."

Dokter Lee mengarahkan mobilnya ke arah kanan. Itu pasti semakin jauh dari apartemen sewaku.

"Mereka hampir putus di hari ulang tahun Putri, dan benar-benar putus saat wisuda. Mau tahu kesalahan Jisung?"

"Apa?"

"Aku tak perhatikan ini. Tapi sejak keributan mereka yang pertama, rupanya ada komitmen untuk saling jaga jarak dari teman lawan jenis. Jisung yang minta."

"Oh, astaga, dia anak-anak sekali! Apa ini kisah cinta anak SMP?"

Aku tertawa miris. "Tapi di hari itu, Jisung datang dengan membonceng seorang adik tingkat. Jisung bilang, gadis itu kakinya sakit. Tapi Putri tahu seberapa gadis itu menginginkan Jisung sejak awal."

"Karena itu mereka putus?"

Aku menggeleng. "Putri sangat kesal karena Jisung sangat plin-plan, jadi ia banyak bicara kasar pada Jisung. Mereka akhirnya sama-sama pergi sambil menangis."

"Ah, begitu ya? Ucapan orang yang paling kita sayang itu memang selalu yang paling menusuk."

Aku mengangguk. "Jisung juga mengatakan banyak hal buruk pada Putri, Dokter. Mereka benar-benar belum siap saat itu."

Dokter Lee mengangguk. "Mungkin aku harus berhati-hati juga untuk Nancy."

"Eh? Kau bilang mau putus?"

Dokter Lee tertawa. "Aku memang mau putus, tapi jangan sampai dia sakit hati karena perkataanku. Aku ingin kami berakhir baik-baik. Aku memang sudah sangat tidak nyaman dengan hubungan kami, tapi aku masih merasa bertanggung jawab padanya. Keluarganya menitipkan Nancy padaku sejak kami pindah ke Seoul setelah lulus SMA."

Aku tersenyum. "Bertahan demi sebuah tanggung jawab itu luar biasa, Dokter Lee."

"Tentu saja aku luar biasa." Dokter Lee tersenyum miring. Tampak menyombongkan diri. "Lalu bagaimana denganmu?"

"Apanya?"

"Kau tak punya kisah cinta selain dengan Jisung?"

Aku menggembungkan pipi, lalu mengernyitkan dahi. "Ada. Tapi memang belum ada yang pas untukku, jadi aku mudah putus. Di akhir tahun lalu aku baru putus dari seorang reporter di NHK."

"Kenapa putus?"

"Dia tidak suka kucing."

"Oh, wow! Dia tidak pantas hidup."

"Kau suka kucing?" tanya kami secara bersamaan.

Aku mengangguk. Begitu juga Dokter Lee.

"Aku punya tiga, tapi tiga-tiganya kucing liar," ujar kami bersama-sama lagi. Ini ajaib! Kami sontak saling menatap dengan takjub. Sebentar. Lalu kami kembali melihat ke arah jalan dengan raut sumringah.

"Padahal aku punya alergi- Oh! Astaga sama lagi!" ujar kami kompak sekali lagi.

"Tunggu dulu! Tunggu dulu! Ini gila," ujar Dokter Lee sambil sesekali memukuli stir mobilnya. Sedang aku sibuk bertepuk tangan. Menghargai kebetulan mewah ini.

"Aku akan sangat marah kalau namanya juga sama," ujarku.

"Bongshik, Seol, Nal."

"Ah, beda! Aku NHK, BBC, dan SBS."

Dokter Lee tertawa. "Kau benar-benar cinta profesi atau tidak punya ide?"

"Tidak punya ide." Aku tertawa bersamanya.

Malam yang dingin namun hangat sekaligus.




Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang