Aku memutuskan untuk terus percaya pada Dokter Lee. Karenanya saat ini, aku kembali masuk ke mobilnya. Bahkan sudah mengenakan sabuk pengaman. Aku masih enggan bicara padanya. Masih terlalu canggung.
"Biskuitmu." Dokter Lee meletakkan biskuit penuh polemik itu ke pangkuanku.
"Aku tidak lapar. Buat kau saja." Aku mengembalikan biskuit tersebut ke pangkuannya.
"Kau butuh energi lebih karena sudah menangis sambil berlutut seperti tadi," goda Dokter Lee. Ia tersenyum miring padaku. Ia meletakan biskuit itu kembali ke pangkuanku.
"Diam."
"Kau boleh makan empat-empatnya," ujar Dokter Lee.
Aku menatapnya sekilas. Lalu kembali menunduk. Masih tak ingin bicara banyak padanya. Akhirnya kami melaju, dengan biskuit yang kutaruh di dekat persneling. Dokter Lee mulai melajukan mobilnya. Rumah keluarga Shin cukup jauh dari kantor kepolisian. Bayangkan jika aku harus berjalan kaki ke sana di tengah malam begini.
"Maaf," kata Dokter Lee tiba-tiba. Matanya masih menatap lurus ke jalan.
"Kau sudah minta maaf tadi."
"Aku masih merasa kalau kau belum memaafkanku."
"Huh?" Aku menatap Dokter Lee bingung.
"Sebagai permintaan maafku, kau boleh bicara informal padaku."
Aku tertawa geli. "Astaga! Kau ini aneh sekali! Hahaha! Kenapa yang seperti itu bisa jadi permintaan maaf, hm?"
Aku memukul bahunya sebagai bentuk spontan dari caraku tertawa.
"Ya... Barangkali kau ingin memanggilku, 'Ya! Jeno-ya!', kau bisa melakukannya sekarang." Dokter Lee tersenyum dengan eyesmile-nya.
"Bolehkah?" tanyaku ragu.
"Aku menunggumu, Jinan-ah," ujar Lee Jeno. Ia memanggilku dengan sebutan informal. Memberiku aba-aba untuk bicara dengan gaya bicaranya.
"Ya! Jeno-ya!" panggilku dengan intonasi naik. Aku tersenyum lebar sambil menatap Dokter Lee lekat. Menunggu reaksinya.
"Ya? Ya? Ya? Ya?" tanya Dokter Lee dengan senyum yang memukau.
Aku menatapnya dengan tawa lepas. Mungkin saat ini wajahku tampak begitu sumringah. "Jeno-ya, kau sudah gila ya? Meninggalkanku seperti tadi, kau mau aku tersesat lalu mati kelaparan karena tak punya uang?"
Dokter Lee tertawa. Sesekali memukul stirnya.
"Aku benci kau, mati saja!"
Tetaplah hidup, Dokter Lee. Aku bersyukur untuk kelahiranmu dan pertemuan kita.
"Wah, jahat sekali dia," ujar Dokter Lee. "Kenapa juga kau benci aku, hei?"
"Kau menyebalkan! Bersamamu sangat sulit untukku."
Kau menyenangkan. Kau membuat semuanya terasa mudah.
"Kenapa kau kembali, sih? Pulang saja sana ke Dongjak!"
Aku senang kau kembali, Dokter Lee. Jangan meninggalkanku lagi.
"Jinan-ah, kau membuatku menyesal sudah kembali ke sini!" ujar Dokter Lee sambil tertawa lepas.
"Dokter," panggilku.
"Jeno," ralat Jeno.
"Y-ya, Jeno-ya."
"Hm?"
"Maaf karena aku selalu seperti tak percaya padamu. Juga, terima kasih karena sudah kembali,
Jeno-ya."
Aku tersenyum tipis padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanfictionTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.