"Ji-Jisung? K-kau bangun? Kau sadar!"
"Shin Yuna..."
Ah. Shin Yuna, ya? Itu bukan namaku. Haha. Aku tersenyum getir.
Ini bukan lagi tentang seorang gadis pendiam. Tapi tentang aku, yang secinta apapun padanya, seegois apapun aku ingin memilikinya, tetap tak dapat memilikinya sedikit pun.
"Ya, Jisung. Aku Shin Yuna."
Hukum aku, Tuhan.
"Yu... Na..."
Jisung terlihat gelisah. Pun tampak sedikit sesak napas.
"J-Jisung? K-kau?"
"Yuna..."
Air mataku menitih lagi. Oh, aku cengeng sekali, sih! Sudah berapa kali aku menangis untuknya hari ini?
"Yuna!" Jisung menaikkan nada bicaranya. Ia menjerit. Sekilas aku melihat wajahnya berpeluh, serta air mata menuruni sisi-sisi wajahnya.
"A... D-Dokter! Dokter Lee!" jeritku refleks. Aku panik. Aku sesegera mungkin, berkali-kali, menekan tombol di atas kepala Jisung.
"Yuna..."
Aku melihat Jisung sekilas. Lalu kembali sibuk menekan tombol itu panik.
Siapapun. Aku mohon. Dokter Lee, Dokter Na, Dokter Wong, atau Shin Yuna sekalipun. Tolong Jisungku.
Brak. Pintu dibuka dengan kasar. Dokter Lee masuk dengan dua orang perawat.
"Dokter! Jisungku sadar! Ia Y-Yuna. P-panggil."
Dokter Lee memasang stetoskopnya ke telinga, sembari ia berjalan ke arah ranjang Jisung.
"Keluarlah dulu Jinan-ssi!"
Kutatap Dokter Lee dengan gugup.
"Perawat Kim, boleh aku minta tolong untuk menemani Jinan-ssi di luar?"
Perawat Kim mengangguk.
"Baiklah. Ayo, Jinan-ssi. Biarkan Dokter Lee bekerja." Perawat Kim merangkul bahuku, hendak menuntunku keluar.
Ketika hendak mencapai pintu, aku menoleh ke arah Dokter Lee. Ia sudah sibuk dengan Jisung. Entah apa yang ia lakukan.
"Jinan-ssi, percayalah padaku bukan hanya sebagai Dokter Lee. Tapi juga sebagai Lee Jeno. Kau berteman dengan Lee Jeno, kan? Teman itu harus saling percaya," ujar Jeno sembari tangannya bergerak cekatan di atas Jisung.
Aku mengangguk. Lalu tersenyum sedikit. "Aku percaya padamu."
Setelah memberi kode pada Perawat Kim bahwa aku sudah siap keluar, Perawat Kim kembali berjalan sambil menuntunku. Dari pantulan kaca jendela, dapat kulihat Dokter Lee memandangku sekilas, lalu tersenyum tipis.
Berjuanglah, Dokter Lee.
---
"Karena itulah kau akhirnya jujur pada Putri-ssi?" tanya Perawat Kim.
Aku mengangguk. Ini sudah hampir setengah jam sejak kami mengobrol panjang lebar. Ah, atau lebih tepatnya, akulah yang banyak mencurahkan isi hatiku padanya.
"Kau benar-benar orang baik," ujar Perawat Kim dengan senyum setulus ibu.
Perawat Kim mengusap bahu kananku. Sedang aku kembali menyeruput sedikit kopiku. Masih mencoba menenangkan diri.
"Mau terlihat baik atau tidak, aku tetap egois. Aku hanya memikirkan keinginanku sendiri. Mereka berbaikan, bercerita padaku tentang masalah mereka. Itu semua hanya mauku."
"Tapi kau tidak salah sedikit pun. Dokter Kepala Wong akan menikah dengan Putri-ssi, kan? Itu akan lebih baik jika keduanya berbaikan dengan masa lalu terlebih dulu. Pernikahan bukan hanya berciuman di atas altar, Jinan-ssi. Kau akan memberikan seluruh hidupmu, termasuk masa lalumu."
Aku terdiam.
"Kau harus bersyukur karena memilih jujur padanya. Masa lalu keduanya dan masa depan Putri-ssi bersama Dokter Kepala, keduanya sudah kau selamatkan."
Aku menatap Perawat Kim. "Bagaimana kalau mereka masih tak mau bicara? Atau malah lamaran Dokter Wong dibatalkan?"
Perawat Kim tersenyum lagi. "Itu adalah keputusan Putri-ssi. Jangan memaksakan kehendaknya nanti. Yang terpenting, untuk saat ini, kau sudah melakukan yang terbaik sebagai seorang teman."
Aku mengangguk. Perawat Kim sungguh bijak dan bajik. Aku merasa sangat jauh di bawahnya. Padahal usia kami hanya terpaut dua tahun. Aku benar-benar kagum pada cara tuturnya yang sangat dewasa itu.
"Jinan-ssi, cinta itu mau dibolak-balik seperti apapun tetaplah bagian dari hasrat. Tidak ada hasrat yang tidak egois. Percayalah itu. Jika kau pikir tidak jujur padanya adalah keegoisan, maka itu benar. Tapi kau tidak salah, kau hanya menjadi manusia."
Perawat Kim tersenyum. Aku benar-benar lega mendengar perkataannya.
"Jinan-ssi, Park Jisungmu sudah sadarkan diri."
Dokter Lee tiba-tiba saja berdiri di hadapan kami. Ia tersenyum miring. Sedikit menyebalkan dan agak pongah.
"Hei, ada apa dengan wajahmu? Merasa sombong karena sudah menyelamatkan orang penting di hidupku, huh?"
"Hahaha. Jutek sekali, sih!" Dokter Lee tertawa sambil bertepuk tangan. Puas sekali ia melihatku jengkel.
Aku tetap diam. Enggan peduli.
"Sana ke Jisung! Aku sudah bilang ada kau, dan dia bersemangat sekali ingin bertemu denganmu."
Aku menatap Dokter Lee sengit.
"Jujurlah sedikit, Dokter Lee."
"Percayalah sedikit, Jinan-ssi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanfictionTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.