"Lo sendiri?" tanyaku pada Putri. Aku mulai membuka payung karena Seoul mulai diguyur hujan.
Putri mengangguk. Kepalanya menengadah ke atas, menatapi hujan yang tak kunjung reda.
"Gak sama Dokter Wong?"
Putri menggeleng. Rautnya tampak cemas. Ia mungkin memikirkan kondisi Jisung. Tadi, saat aku berada di kantor kepolisian untuk penyesuaian data, Dokter Lee meneleponku. Jisung kembali tak sadarkan diri, katanya. Itu membuatku cukup kalut. Berapa kali aku harus mengulang pemeriksaan data karena kekalutan tadi?
"Gue sama lo aja." Putri masuk ke bawah payungku. Wajahnya masih semurung tadi. "Gue mau cerita banyak soal Jisung."
Sudah kuduga.
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis, lalu mengusap punggung Putri dengan sedikit penekanan.
"Gue tadi baikan sama dia, Ji. Tapi lo tahu kondisi dia sekarang, kan?"
Aku mengangguk. Hanya sedikit-sedikit memberi komentar. Aku ingin Putri menceritakan apa yang ingin ia katakan. Aku ingin mendengar semua ceritanya. Barangkali dengan begitu, ia dapat menjadi lebih lega.
Dalam perjalanan kami ke apartemen sewa, Putri banyak bercerita. Tentang keduanya yang dulu putus karena sifat kekanakan. Juga tentang keduanya yang tadi sempat berbagi ciuman meski sangat sebentar. Sebab tepat setelahnya, Jisung kembali ke alam bawah sadarnya.
Putri banyak menangis. Entah untuk apa ia membuang air matanya itu. Perasaannya untuk Jisung mungkin masih sedalam dulu. Atau yang paling mungkin, ia hanya terbawa suasana saat ini.
"Dia selalu bikin gue nangis di hari-hari spesial gue, Ji. Dan gue selalu bikin dia merasa bersalah," ujar Putri.
"Jadi masalah lo berdua belum selesai, Put?"
"Gue gak tahu, Ji. Gue belum sempat bilang maaf ke dia," kata Putri sebelum akhirnya ia lelap ke mimpi.
"Selamat malam, Putri," ujarku sambil bergegas memakai mantel untuk keluar rumah. Kembali ke rumah sakit. Biar bagaimana pun, aku belum sempat menjenguk Jisung tadi. Oh, bukankah aku benar-benar munafik sekarang?
Tapi, aku tidak jahat, kan, Perawat Kim? Aku hanya menjadi manusia.
---
"Jisung, kenapa tidur lagi, huh? Apa karena kau sudah mendapatkan apa yang kau mau, hm?"
Aku menusuk-nusuk pipi Jisung dengan telunjukku. Daguku tersandar di kasurnya. Sedang tatapanku tak beralih darinya.
"Jisung, katanya kau ingin kembali pada Shin Yuna? Beri tahu aku dulu di mana dia tinggal. Aku akan membawanya kembali padamu. Bangunlah dulu sebentar. Kumohon."
Tentu saja Jisung tak merespons apapun. Aku terus menusuk-nusuk pipinya. Kali ini sedikit lebih cepat.
"Jisung, ayo bangunlah sebentar. Beri tahu aku sedikit lagi tentang Shin Yuna mu. Lalu kembali tidur pun tidak masalah. Aku berjanji akan membawanya ke sini. Kembali padamu."
Jisung tetap tak bergerak. Bahkan wajahnya tak menunjukkan raut yang dapat diartikan. Anak ini selalu membuatku putus asa!
"Tidak mau bangun? Sungguh? Jadi kau hanya memberi tahu kalau namanya Shin Yuna dan dia tinggal di Yongsan, begitu?"
Aku menatap Jisung tak percaya. Tadi siang, ketika aku memintanya bangun seperti sekarang, ia benar-benar bangun. Seolah menuruti permintaanku. Tapi kenapa sekarang ia tak mendengarkanku, huh?
Tiba-tiba, ponselku berdering. Itu dari Putri. Anak itu pasti kebingungan mencariku.
"Jinan, lo di mana?" tanya Putri. Aku bahkan masih dapat mendengar jelas intonasi kesalnya meski hanya dari telepon. "Kok lo cabut gak bilang-bilang gue dulu, sih?"
"Maaf, Put. Gue buru-buru banget. I-itu, tadi lupa, mau ambil data tambahan di rumah sakit."
"Tengah malam lo ke rumah sakit, Ji? Astaga! Balik lo cepat!"
"Iya iya, Bawel!"
"Bodo!"
Aku mematikan sambungan kami. Lalu menatap Jisung sekilas sambil tersenyum. "Malam, Jisung. Selamat ulang tahun. Besok, saat aku kembali ke sini, bangunlah. Kau juga belum cerita soal keluargamu. Aku ingin dengar."
Aku merapikan selimut Jisung, lalu pergi mendatangi pintu ruangan. Saat menyentuh gagangnya, aku kembali menatap Jisung. Menunggu sebentar. Berharap keajaiban terjadi seperti siang tadi.
Namun, nihil. Jisung tak bergerak sedikit pun.
Aku hanya tersenyum sekali lagi, sambil berjalan dan menutup pintu.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanficTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.