"Jisung, masih ingat aku?" tanya Putri sambil mendekat ke arah Jisung. Sedang sang pasien justru memalingkan wajah. Enggan menjawab.
Aku menatap Dokter Lee. Memberi isyarat bahwa Jisung mungkin sangat tak ingin bertemu Putri.
"Park Jisung-ssi, aku Wong Lucas, tunangan Putri."
Dokter Lee menepuk dahinya. Lalu menggelengkan kepala sembari membuang wajah.
"Dasar Lucas bodoh! Dia malah memperkeruh suasana," Dokter Lee mengerutu.
"Senang bisa bertemu denganmu," tambah Dokter Wong.
"Ayo kita harus kabur dari sini," ajak Dokter Lee padaku.
"Semuanya! Kami pamit keluar dulu," ujar Dokter Lee keras-keras sambil menarik lenganku. Mengajakku keluar bersamanya.
"Kak Ji! Tetap di sini saja!" seru Jisung. Ia bahkan bicara dengan bahasa Indonesia. Itu benar-benar mujarab untuk membuatku berhenti melangkah. Pun suaranya yang sedikit memelas itu sukses membuat Dokter Wong dan Dokter Lee saling beradu pandang. Mungkin sama-sama penasaran dengan artinya.
"Maaf, Jisung, tapi aku ada wawancara dengan Dokter Lee," kataku sebelum akhirnya keluar membuntuti Dokter Lee.
---
"Bahasa Indonesia yang terakhir itu artinya apa?" tanya Dokter Lee penasaran.
"Artinya Dokter Lee bodoh," jawabku tak serius.
"Sial. Jangan meminta bantuanku lagi! Ayo pergi dari ruanganku!"
Dokter Lee mendorong kursi ala direktur yang sedang kududuki. Ia membuka pintu, lalu menaruhku di luar ruangannya. Lengkap dengan kursi beroda yang seharusnya menjadi kursi konsultasi pasien.
Aku sempat melamun sebentar, masih mencerna apakah aku benar-benar diusir olehnya. Lalu, "Hei! Dokter Lee!"
Aku menggebuk-gebuk pintunya kuat. Aku harus menghancurkan pintu ini.
Klek.
"Apa sih?" tanya Dokter Lee sambil membuka pintunya.
Oh, ternyata tak ia kunci. Aku kembali masuk sambil menarik kursi beroda tadi untuk sampai tepat ke depan mejanya. Ku kembalikan ke posisi semula. Tepat di samping kursi serupa pula.
"Dokter Lee," ujarku sembari duduk.
"Ya?"
"Aku berjanji untuk membantunya kembali pada Shin Yuna, mantan kekasihnya."
"Haha." Dokter Lee tertawa remeh. "Wah, lihat siapa yang sebenarnya bodoh di sini!"
"Iya, iya, itu aku. Sekarang aku harus bagaimana? Aku tidak tahu."
Dokter Lee tertawa miris. "Kau pernah dengar cinta platonis?"
Aku mengangguk.
"Apa kau berusaha untuk memasuki faham itu, huh? Kau ini luar biasa anehnya. Percuma saja Perawat Kim menasihatimu sampai berbusa sekalipun."
Aku tertawa getir, sambil sesekali memainkan kuku. "Aku hanya ingin dia bahagia."
"Di kedokteran, kami menyebutnya kebodohan."
Aku menghela napas. "Di jurnalistik, kami menyebutnya ketulusan."
Dokter Lee menggeleng. "Aku tak akan pernah belajar jurnalistik seumur hidupku."
"Aku tak akan pernah memahami kedokteran seumur hidupku."
Dokter Lee tertawa. Aku pun menyusul tawanya.
---
Tiba-tiba pintu terbuka. Itu Dokter Wong. Ia masuk sambil menggaruk belakang telinga.
Ah, apa mereka meminta Dokter Wong pergi untuk bicara berdua?
"Wah, lihat siapa yang saling berpasangan di sini?"
Dokter Lee mengernyitkan dahi. "Luke?"
"Huh? Putri dengan pasien itu dan kau dengan- oh, astaga, sejak kapan kalian akrab? Kalian berdua sama-sama kaku dan gila kerja, dan- oh, baiklah, aku kesal sekali." Dokter Wong menggebrak meja Dokter Lee dengan wajah frustasi.
"Wow, kau kenapa, Luke?" tanya Dokter Lee lagi. "Diusir karena tidak terlibat?"
Dokter Wong menggeleng. Wajah kesalnya tadi memudar dan jadi lemah. "Mereka bicara bahasa Indonesia."
"Hahaha! Kau kasihan sekali sih! Astaga!" Dokter Lee tertawa geli sambil memegangi kedua pelipisnya dengan satu tangan. Ia tertawa dengan mulut terbuka lebar. Rasanya puas sekali ia menyaksikan penderitaan asmara Dokter Wong.
"Kau mau kubantu untuk menerjemahkannya, Dokter Wong?"
Dokter Wong memandangku antusias.
"Jinan-ssi, apa artinya 'jangan begitu'? Putri sering mengucapkannya tadi!"
"Artinya, 'jangan begitu'."
"Oh, astaga!" Dokter Wong menggaruk kepalanya kasar. "Aku jadi takut Putri hilang," sambungnya setelah duduk di kursi beroda yang ada di sampingku.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
Dokter Wong tertawa miring. "Ah! Kau ini! Kau pasti tahu kan sesuatu pernah terjadi di antara mereka?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
Fiksi PenggemarTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.