Something

62 12 2
                                    

Aku dan Putri duduk di atas ranjang pasien. Kaki kami menghampar ke bawah. Sedang dua dokter itu sedang bekerja dengan sangat sungguh-sungguh.

Keduanya berlutut, dengan wajah yang begitu serius. Dokter Wong sedang mengaplikasikan cairan antiseptik di kaki Putri, sedang Dokter Lee masih membersihkan kakiku. Tak berpaling sedikit pun dari luka kami.

Sesekali Putri menjerit, mengaduh, melempar protes pada Dokter Wong. Namun dokter itu hanya diam. Kadang sedikit tersenyum atau terkekeh kecil. Aku melihatnya dengan jelas dan sedikit menghangat.

Berbeda dengan Putri, aku hanya mendesis kecil. Lukanya menjadi lebih perih dari semula. Apalagi saat aku menyadari beberapa serpihan kaca kecil ternyata masuk ke dalam luka itu.

"Kau membawakan berita itu dengan baik," puji Dokter Wong pada Putri. "Bahasa Korea mu juga semakin bagus saja."

Putri hanya terdiam. Ruangan kembali menjadi hening. Aku melirik sedikit ke arah keduanya, namun tak ada tanda-tanda akan berlanjutnya percakapan.

Aku akhirnya mengedarkan pandangan. Melihat ke arah sorot sinar matahari sore yang menguning. Sinar itu menelisik lewat jendela. Sedikit tersaring curtain putih transparan dan sampai pada kami. Warna kuning lebih dominan dari putih dinding rumah sakit. Membuat sisi ruang yang tak terpapar sinar menjadi sedikit lebih gelap.

"Ada yang ingin aku bicarakan," ujar Lucas dan Putri bersamaan. Mereka instan saling menatap. Tak lama, keduanya saling tertawa geli.

Aku menoleh pada Dokter Lee. Pria itu tersenyum sedikit, lalu kembali fokus pada lukaku. Ia mengganti kapasnya dengan yang baru.

Dokter Wong beranjak dari posisinya semula. Ia berdiri, matanya lekat menatap Putri. Membuat wanita di hadapannya itu terdiam seribu bahasa. "Aku sangat ingin memelukmu sekarang."

Aku menoleh, sedikit tersentuh. Sedang Dokter Lee mulai tersenyum geli. Ia pasti tengah berusaha menahan tawa.

"Lakukan," kata Putri.

Kini giliran aku yang tersenyum menahan tawa.

"Aku hanya melakukannya saat kita berdua." Dokter Wong menyelipkan rambut depan Putri ke belakang telinga.

Keduanya kembali diam. Saling menatap dalam waktu yang lama. Dokter Lee sudah dapat mengontrol keinginannya untuk terbahak. Jadi aku sedikit mendapat kekuatan untuk dapat menahannya juga.

"Mau jalan-jalan?" ajak Dokter Wong.

"Kakiku sakit, Luke." ujar Putri.

"Mau ku gendong seperti tadi?" tanya Dokter Wong sambil tersenyum simpul.

Putri tertawa sambil memukul kepala Dokter Wong ringan. "Kepala rumah sakit macam apa kau ini?"

Dokter Wong terkekeh cukup keras. "Mau dengan kursi roda?"

Putri akhirnya mengangguk.

Dokter Wong segera menekan tombol yang terletak di atas sisi kepala ranjang. Tepat saat seorang perawat masuk, ia memesan dua kursi roda. Ah, ia sangat baik! Bahkan juga memikirkanku di saat seperti ini.

Segera setelah kursi rodanya datang, Dokter Wong mengangkat Putri. Wanita itu sedikit berteriak sambil mencengkeram lengan Dokter Wong. Ia diletakkan di atas kursi roda itu. Membenarkan sedikit posisinya, lalu bersandar dan kembali tertawa.

"Dokter Lee, Jinan, aku pergi dulu," kata Putri sambil melambaikan tangannya ke arah kami.

"Dokter Wong, jangan berlari di lorong!" seruku.

Dokter Wong tertawa, lalu mengangguk sebelum akhirnya mendorong kursi roda Putri keluar ruangan. Aku harap hubungan mereka akan terus baik-baik saja.

Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang