Aku pernah membaca komik romansa saat di Jepang dulu. Kata tokoh utamanya, jika ingin mendapatkan kesan terbaik pada kencan pertama, maka kita juga harus memilih pakaian terbaik.
Sedang isi lemariku hanya pakaian normal. Maksudku, aku bahkan tak dapat menilai apakah itu baik, buruk, atau bahkan tidak berharga. Aku tak membawa banyak pakaian ke Seoul. Semuanya masih kutinggal di Jakarta. Ah, tapi kalaupun aku membawanya, kurasa tetap tidak ada yang mumpuni untuk kupakai kencan besok.
Aku jadi ingat saat kami pergi ke Hannam. Saat itu ia hanya memakai turtle neck dan jeans, namun ia sudah terlihat begitu sempurna. Jika besok aku mengacaukan kencan kami karena penampilanku, rasanya konyol sekali!
Jadilah aku sekarang memilah-milah baju di sebuah toko pakaian di pusat distrik. Aku tak lihat nama tokonya, hanya sekadar masuk karena ada sebuah gaun pendek yang menarik perhatianku.
"Selamat datang, Nona! Ada yang dapat kami bantu?" kata salah seorang pelayan dengan senyum ramah.
"Aku... ingin melihat-lihat gaun."
"Ke sebelah sini, Nona," ajak pelayan tadi sambil tangannya mengarah ke kanan.
Ia mengantarku ke segmen gaun di toko itu. Rupanya, dibanding gaun yang tadi kulihat dari luar, ada beberapa yang lebih menarik perhatianku. Jadi aku mendekati gaun itu. Lalu menyentuhnya dengan lembut.
"Eh?" Aku terlonjak kaget saat tangan seorang wanita, yang kukunya dihias sedemikian rupa, bersentuhan dengan tanganku.
Aku kontan menghadap ke arahnya. Begitu juga wanita itu. Tak perlu hitungan detik, aku terperangah. Mataku membesar dan dadaku mulai berdebar keras. Panik.
Sedang wanita itu justru tersenyum lebar. "Bukankah kau wartawan di Rumah Sakit Dongjak?"
"N-Nancy-ssi?" gumamku, masih terperangah.
Matilah, kau perebut pacar orang! Oh, dia tidak tahu aku.
"Jinan-ssi, benar?"
Oh, astaga dia tahu!
Nancy berpaling. Kembali menghadap gaun yang tadi sama-sama kami sentuh.
"Kau ingin membeli gaun ini?"
Aku mengangguk ragu. Sedikit memundurkan diri, ingin menghindari Nancy bagaimana pun caranya. Sepertinya aku sudah keluar keringat dingin!
Nancy tertawa kecil, lalu menatapku dengan senyum lebar. "Haha. Buatku saja ya, kau kan sudah dapat Jeno."
Aku tercekat. Gugup. Saking paniknya, aku meremat bagian bawah kemejaku sambil sesekali mengatur napasku. Lidahku benar-benar kelu.
"Apa kau tidak merasa bersalah karena sudah merebutnya dariku?" Nancy kembali fokus pada gaun tadi.
Aku menunduk. Melihat ke ujung sepatuku. Benar-benar tak ingin menatap Nancy sama sekali. Wajar jika ia marah, dan bodoh karena aku tak pernah memikirkan bagaimana perasaannya sama sekali.
"M-maaf," ucapku dengan suara kecil. Begitu bingung.
Nancy tertawa miring. "Apa 'maaf' sama artinya dengan 'ini kukembalikan Jeno padamu', begitu, Jinan-ssi?"
Aku menatapnya sebentar, lalu segera menunduk lagi. Melihat ke ujung sepatuku dengan perasaan bersalah.
Aku benar-benar tidak dapat dimaafkan, rupanya.
"Kau tidak ingin melawan?"
Aku menggeleng.
"Tidak ingin memberiku penjelasan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
أدب الهواةTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.