Fragile Intuition

57 14 2
                                    

"Tumben sekali kau ada di sini, Dokter," ujarku pada Dokter Wong. Ia sedang memegang sebuah papan jalan yang menjepit beberapa helai kertas. Tampak seperti rekam medik seseorang.

"Ah, iya." Dokter Wong segera duduk di salah satu kursi di ruang tunggu. Kepalanya tertunduk, hampir masuk ke sela kakinya yang sangat panjang itu. Sedang kedua tangannya menghampar ke bawah, seperti gestur putus asa.

"Dokter?"

"Duduk dulu." Dokter Wong menepuk kursi kosong di sebelahnya. Ia tak melihatku sama sekali. 

"Ya?"

"Ayo duduk. Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan."

Aku duduk agak jauh darinya. Pandanganku tak lepas dari wajah samping Dokter Wong yang benar-benar muram itu. "T-tentang apa, Dokter?"

Akhirnya dokter itu mendongakkan wajah. "Ini pertama kalinya aku merasa begitu takut dengan kondisi seorang pasien."

Aku mengerutkan dahi. "Apa ada masalah?"

Dokter Wong mengembus napas kasar. Ia tersenyum dengan tatap mata kosong. "Perasaanku yang bermasalah."

"Apa ini soal Putri?" Aku memandangi Dokter Wong iba.

Dokter Wong mengangguk, lalu menatap lurus ke depan. Ke arah resepsionis rumah sakit yang sedang cukup ramai. Sebentar lagi jam besuk akan berlaku.

"Aku tahu bagaimana mereka mengucapkan salam perpisahan kemarin."

Ah, Putri! Aku meringis. Bagaimana kalau Dokter Wong membatalkan lamarannya?

"Itu hanya karena-"

Dokter Wong tertawa, meski air wajahnya begitu memendam kesedihan. "Jisung sepertinya sangat berarti untuk Putri. Lebih dari lima tahun dan mereka belum juga berakhir seperti itu. Mungkin memang aku yang harus mengalah."

"Dokter, kau jangan putus asa begitu! Dia tidak akan pergi kemana-mana."

Dokter Wong menunduk lagi. "Kau tahu Jinan-ssi? Hari ini aku harus pergi ke University of Tokyo. Ada pertemuan sesama dokter kepala se-Asia Timur besok pagi. Tapi pagi tadi aku dengar kondisi Park Jisung dari Dokter Huang, jadi aku ke sini tanpa berpikir apapun. Aku melewatkan pesawat dan dimaki-maki ayahku."

Aku menatapnya iba. Tak tahu harus merespons apa.

"Delapan tahun aku sekolah kedokteran, Jinan-ssi. Berkali-kali ikut kelas akselerasi. Tapi hari ini seorang wanita bisa membuatku bertingkah sebodoh ini. Tadi pagi itu, aku tak memikirkan apapun saat menolong Park Jisung. Aku hanya tidak ingin Putri kehilangan seseorang yang penting di hidupnya."

"Kenapa tidak kau bicarakan langsung dengan Putri?"

Dokter Wong menggeleng. "Aku... tidak tahu cara memulainya. Aku belum bicara padanya sejak kemarin sore. Aku pikir aku bisa mengatasi perasaanku, tapi ternyata sulit sekali.

"Dokter, apa tidak apa-apa cerita padaku seperti ini?"

Dokter Wong terbelalak kaget. Ia menggaruk kepalanya, membuat rambut yang semula rapi itu menjadi berantakan. "Benar juga. Kenapa aku harus cerita padamu? Kau kenapa mau mendengarkanku, sih?"

"Huh?" Dokter Wong segera bangkit. Ia lalu berjalan sambil memukuli kepalanya dengan papan jalan tadi. Aku melihat punggungnya yang semakin menjauh. Dan sebelum ia belok ke sebuah lorong, aku memanggilnya.

"Dokter Wong!"

Dokter Wong berhenti. Ia menoleh. Aku berlari ke arahnya.

"Putri pernah bilang padaku, dia hanya ingin hidup denganmu di masa depan."

Dokter Wong tertawa, menatap langit-langit rumah sakit. 

"Kau pernah bilang tak akan merelakannya. Kau juga bilang akan bekerja lebih keras lagi untuk memenangkannya. Kalau sekarang kau menyerah, kau akan jadi lebih bodoh dari seorang pria yang ketinggalan pesawat demi mantan pacar kekasihnya."

Aku berjalan melewati Dokter Wong. Terakhir kulihat wajahnya begitu terkejut. Entahlah, aku rasa aku sudah hebat sekarang. Aku akan melindungi hubungan kalian. Seperti janjiku.

---

"Putri, ke Seocho?" Aku menelepon Putri sambil berjalan cepat di lorong rumah sakit. Baru saja aku dapat kabar dari grup asosiasi wartawan mengenai kebakaran di Seocho.

"Iya, ini sama kru. Naik mobil perusahaan. Ketemu di sana ya?"

"Ya, hati-hati."

Aku mematikan teleponnya. 

Aku mempercepat langkah dengan pandangan lurus ke depan. Namun saat melewati ruangan Dokter Lee, kakiku melambat. Dari jendela itu, dengan jelas aku dapat melihat Dokter Lee dan Nancy. Mereka bukan hanya sedang berbincang, tapi saling berpeluk.

Aku agak berhenti. Berkali-kali mencuri pandang ke arah jendela itu. Berusaha memastikan sambil sedikit berdoa. Berharap yang kulihat hanya ilusi. 

Ah, itu sungguhan. Aku tidak salah lihat.

Dokter Lee bahkan memejamkan mata, seperti sangat menghayati pelukan itu. 

Aku segera membuang muka dan kembali melangkah. Berusaha menebalkan hati, meski rasanya begitu menyakitkan. Namun jika aku terus melihatnya, maka rasa sakitnya akan semakin menjadi-jadi. 

"Percayalah sedikit, Jinan-ssi."

Haruskah, Dokter Lee? 

Ah, inilah kenapa aku selalu ragu untuk menaruh hati pada Dokter Lee.

Aku mengambil ponsel, mengetikkan sesuatu pada editorku di NHK. 

Nakamoto-san, aku akan segera berangkat ke Seocho. Ada kebakaran di pusat pertokoan di sana. Tenang saja, aku bersama teman-teman wartawanku dari SBS. Jadi jangan terlalu khawatir. Oh, iya, laporan lengkapnya akan menyusul, tulisku pada pesan itu.

---

Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang