Aku sibuk dengan ponselku sejak kami mulai beranjak ke Hannam. Biar bagaimana pun, laporanku pada NHK harus sampai besok pagi. Sedikit informasi mengenai kendaraan tadi lumayan juga untuk ditulis.
"Ya! Kau sedang menghubungi Putri?" tanya Dokter Lee. Ia memutar stirnya ke arah kanan.
Aku menggeleng tanpa melihatnya. "Aku sedang menghubungi editorku di NHK. Ada yang ingin kutambahkan di laporanku."
Dokter Lee terdiam agak lama. Sebelum akhirnya kembali berbicara, "Kau tidak mengantuk?"
"Eh? Kita kan baru saja minum kopi."
Dokter Lee menepuk dahinya kasar. Lalu meringis, mungkin pukulan itu terlalu keras. Toh, aku mendengar bunyi 'plak' yang sangat kencang dari sana.
"Ada apa, Dokter? Kau mengantuk?"
"Tidak. Aku hanya bertanya."
Aku mengangguk, lalu kembali sibuk dengan ponselku.
"Jinan-ssi, Jisung itu... apa yang kau sukai darinya?"
Aku tersentak. Sebuah perasaan asing kontan menyelimuti dada dan wajahku. "K-kenapa bertanya begitu tiba-tiba?"
"Y-ya hanya penasaran saja."
Aku tersenyum, lalu menatap ke jalan yang sepi dan hanya diterangi lampu-lampu jalan. "Aku juga penasaran."
Dokter Lee menghela napas. "Mungkin karena dia tampan ya?"
"Bisa jadi?" tanyaku tak yakin.
Dokter Lee tertawa kecil. "Kenapa ragu?"
"Aku tidak pernah memikirkan ini sebelumnya, Dokter. Jadi aku tak tahu kenapa aku menyukainya, atau apakah aku butuh alasan untuk menyukainya."
"Melakukan sesuatu itu pasti ada alasannya, Jinan-ssi. Hanya saja, tak semua orang menyadari alasan itu."
Aku mengangguk. Lalu sedikit merenung. Berusaha memilah alasan yang tepat atas pertanyaan Dokter Lee. Tentu, tak kunjung kudapatkan jua. "Um, aku tidak tahu."
Dokter Lee masih tertawa meski matanya fokus ke jalan. Sampai tiba-tiba, sebuah ide muncul begitu saja di kepalaku.
"Kalau Dokter dan Nancy bagaimana? Kau pasti yang menyatakan cinta padanya, kan?"
Dokter Lee tertawa lagi. Ia memukul-mukul stir mobil sambil sesekali mencuri pandang ke arahku. Wajahku mungkin sudah seperti anak kucing sekarang. Antusias sekali menunggui jawaban Dokter Lee.
"Tentu aku yang menyatakannya. Dia itu, biar bagaimana pun adalah satu-satunya wanita yang kulihat sejak aku kecil. Aku mengaguminya. Apalagi dia tumbuh menjadi sangat cantik dan well, benar-benar tipeku." Dokter Lee tersenyum miring. Ia pasti sedang membayangkan Nancy di dalam pikirannya.
"Ah, jadi kau suka gadis yang feminin?"
Dokter Lee melirik sedikit ke arahku, lalu kembali fokus ke jalan. Ia menggaruk tengkuknya. "Um, tidak juga. Aku juga suka yang berambut panjang dan pekerja keras."
"Ah, benar, Nancy juga pasti seorang pekerja keras. Dia pergi ke Seoul dan memulai hidup seorang diri. Benar-benar mengagumkan."
"Kau juga mengagumkan."
Aku tertawa kecil. "Menurutmu begitu?"
"Menurutmu tidak?"
Aku menggeleng.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu apakah aku pintar..."
"Kau pintar."
"...atau tidak seru..."
"Aku senang bicara denganmu."
"...aku juga kadang seperti tidak punya tekad..."
"Kau sungguh berpikir begitu?"
Aku mengangguk. "Aku juga bukan dari keluarga kaya."
"Kau tidak butuh itu, Jinan-ssi."
"Bahagia tanpa uang itu sulit sekali, Dokter Lee," kataku. "Apalagi untuk seorang gadis sepertiku."
"Huh? Memang apa yang salah dengan gadis sepertimu?"
Aku tersenyum getir. "Gadis sepertiku. Um... yang tidak cantik."
Dokter Lee terdiam. Ia mungkin setuju tentang itu. Jadi aku hanya menatap jalan dengan sorot mata yang kosong. Ah, hatiku rasanya seperti tertusuk. Tapi apa yang aku harapkan, huh? Aku sudah sering melihat Nancy. Sudah tahu juga seberapa cantik gadis itu. Dokter Lee pasti memiliki standar yang tinggi untuk memaknai kecantikan.
Perlahan, mataku mulai sayu. Rasanya lebih baik tidur saja dibanding memikirkan sesuatu yang hanya membuat sedih.
---
"Jinan-ssi, bangunlah."
Sayup-sayup aku mendengar suara lembut itu.
"Jinan-ssi."
Kali ini disertai dengan beberapa kali tepukan pada lengan atasku.
Perlahan, aku membuka mataku, untuk mendapati wajah Dokter Lee yang begitu dekat. "Bangunlah, kita sudah sampai di Hannam."
Aku mengernyitkan dahi selagi Dokter Lee memundurkan tubuhnya. Belum sadar sepenuhnya, aku mulai mengucak mata. Berusaha mengingat kejadian selama semalam suntuk. Sebelum akhirnya menangkap bahwa hari belum juga terang.
Dokter Lee kembali duduk di kursinya, sedang aku menegakkan diri. Aku menunduk ke bawah, merasa ada sesuatu yang melilit leherku. Syal. Aku memegangnya dengan kedua tangan.
"Itu aku memakaikannya saat kau tidur tadi," kata Dokter Lee. "Tadi kau agak menggigil. Maaf kalau lancang, Jinan-ssi."
Aku mengangguk. "Tidak apa-apa, Dokter. Terima kasih banyak."
Dokter Lee tersenyum tipis.
Aku beralih, melihat ke depan untuk mendapati sebuah gedung, yang pada sisi dindingnya tertulis huruf hangul besar-besar yang berbunyi, "Kantor Kepolisian Hannam".
"Kita akan tanya soal identitas Shin Yuna di sini. Aku punya teman yang kebetulan sedang berjaga sekarang."
Dokter Lee bergegas turun dari mobil. Sedang aku masih belum sepenuhnya pulih dari mimpi. Sekelebat, aku mengingat percakapan tadi. Kenapa rasanya sesak begini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanfictionTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.