Bonus Chapter: The Way We Call It "Romance"

134 12 4
                                    

Since we wonder how did the Amour work for Lucas and Putri, then here we go!


---

Aku dan Jinan sedang mengintip ke arah kantin rumah sakit. Orang-orang hilir-mudik dengan pakaian putih khas medis. Baru tiga hari dan aku sudah sangat rindu Itaewon. Aku ingin kembali ke sana, tapi aku sedang ditempatkan untuk meneliti rumah sakit Dongjak. 

"Pertama kalinya dalam hidup gue, gue bisa tahu bau roti dicampur obat bisa secandu ini," kataku sambil sibuk mengendus-endus.

Jinan memicingkan matanya sambil menatapku. Ia sudah lama menjelajahi desk kesehatan, jadi mungkin sudah hafal dengan aroma semacam ini. Tidak sepertiku yang tiba-tiba diangkat jadi reporter televisi dan dipaksa untuk meneliti rumah sakit terbesar di Dongjak ini. 

"Apa? Mau norak lo?" kataku sambil melotot.

Jinan hanya manggut-manggut saja sambil sedikit tertawa remeh.

"Mahal kalik ya makanannya? Gue mau makan dah," keluh Jinan tiba-tiba.

"Yah, Ji, lo kayak orang susah aja! Ayo kita jajan." 

Dengan sangat percaya diri, aku menarik lengan Jinan untuk sampai ke meja pemesanan. Mereka banyak menyajikan ragam mie yang tampak sangat menarik. Ada juga bubur dan sejenis tangsuyuk.

"Mantap Ji, ini banyak jenisnya! Jadi besok lo gak perlu ceplok telur lagi dari rumah! Hehe." Aku merogoh kantung untuk mencari dompet. Lalu membuka resletingnya dengan percaya diri.

"Selamat datang, ada yang dapat kami bantu?" tanya pelayan kantin dengan senyum ramahnya.

"Um... Put." Jinan menepuk lengan atasku. 

"Hm?" kataku sambil melihat ke arah daftar menu. Menimbang-nimbang makanan mana yang cocok untukku.

"Put, kayaknya gue gak makan di sini deh."

Aku melotot. "Udah ada orangnya. Lagian tadi pagi telur lo gosong, lo mau makan apa? Makan hati?" cerocosku. 

"Nyonya, aku pesan-"

Jinan menepuk lengan atasku lagi. "Put, jangan di sini, yuk."

"Hah? Lo kenapa dah?"

Jinan mendekatkan wajahnya ke telingaku. "Harganya... lebih galak dari lo, Put," bisik Jinan sambil sesekali ia melirik ke arah daftar harga.

Dengan takut-takut, aku mengikuti arah matanya. Jantungku berdebar kencang melihat sederet angka-angka kejam itu. Lalu meneguk ludah. Setelahnya kembali menatap Jinan.

"Akhir bulan, Put," bisik Jinan sekali lagi.

Aku mengangguk setuju. Lalu sedikit demi sedikit mulai menunjukkan cengir kuda pada pelayan yang hampir saja mencatat pesananku. 

"Hehehe. Mbak- eh, Nyonya. Maaf, sepertinya aku tidak jadi pesan, karena aku ternyata tidak punya uang won."

Bagus, Putri memang pintar!

Jinan ikut memamerkan giginya, sama sepertiku. Selama beberapa kali kami sempat menganggukkan kepala. Merasa tidak enak dan ingin meminta maaf karena telah menyita waktunya.

"Kami permisi," ujarku sebelum menyeret Jinan keluar kantin.

"Kenapa gak bilang dari awal, Sayang?" protesku sambil berbisik dan menggeretakkan gigi.

"Gue udah berusaha bilang, tapi lo kayak yang PD banget," jawab Jinan sambil berbisik juga.


Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang