"D-Dokter Lee?"
Aku tersentak. Tak menyangka Dokter Lee akan mengetuk pintuku lebih dulu dari pegawai hotel. Pun aku membuka pintu tanpa memeriksa lubang intip. Kehadirannya benar-benar di luar dugaan.
"Pagi."
"P-pagi."
Dokter Lee tampak sempurna dengan baju turtle neck-nya. Sedang aku masih sangat berantakan dengan kaus oblong putih yang sejak kemarin kugunakan. Ah, ditambah lagi Dokter Lee tersenyum dengan begitu indahnya. Ia juga tampak biasa saja.
Sudah kuduga. Mungkin hanya aku yang terlalu membesar-besarkan masalah kemarin.
"Tidurmu nyenyak?" tanya Dokter Lee.
Aku mengangguk ragu. Tentu berbohong. Bagaimana mungkin aku tidur dengan Dokter Lee yang terus muncul ke dalam mimpiku?
"Aku tidak."
Aku mengernyitkan dahi. "Kenapa?"
Dokter Lee memiringkan kepalanya. "Kau sungguh bertanya?"
Segeralah aku menjadi canggung.
"Kau belum mandi?"
Aku menggeleng. Merutuki diriku sendiri karena enggan bangun sejak tadi. "Jangan mengejekku."
Dokter Lee tertawa sambil menutup hidungnya dengan jari telunjuk. "Siapa yang mengejekmu, hm? Ini, aku membawakanmu pakaian."
Dokter Lee menyodorkan sebuah kemeja biru muda bergaris yang ia lipat rapi.
"Kau tidak bisa ganti baju sejak kemarin, jadi aku membawakanmu ini. Kau tidak masalah kan jika tidak ganti jeans?"
"Ini bajumu?"
"Aku tak bawa banyak. Hanya dua. Ini yang paling kecil. Kau coba saja dulu. Dari pada kau harus tak ganti pakaian lagi."
"Y-ya, terima kasih, Dokter Lee."
"Jinan-ah. Nanti akan kujemput untuk sarapan."
Setelah menerima pakaiannya, aku segera mundur dan menutup pintunya rapat-rapat. Aku memeluk kemeja Dokter Lee, sambil merasakan kacaunya detak jantungku.
---
"Dokter, ini sangat kebesaran!" Aku menggoyangkan kedua lenganku naik-turun. Sisa lengan bajunya menghampar ke bawah. Membuatku tampak tenggelam di dalam kemeja itu.
"Kau kan bisa melipatnya."
Dokter Lee mengambil ujung lengan kemeja yang sedang kupakai, lalu membantu menggulungnya ke atas. Lipatannya begitu rapi. Beda dengan aku yang asal menariknya ke atas. Ia juga melakukan hal serupa pada lengan satunya.
"Sudah," ujar Dokter Lee sambil menepuk-nepuk siku tanganku dengan senyum tipis.
"Terima kasih."
"Hm."
Dokter Lee lalu berjalan di depanku. Ia tampak sesekali memegangi tengkuknya. Namun ia tak mengajakku bicara sedikit pun. Ia juga terlihat sangat santai.
Apa ia hanya bercanda semalam? Atau jangan-jangan ia mabuk?
"Hei..." Dokter Lee berbalik tanpa sempat kusadari. Tatapannya sayu. Suara beratnya membuatku mematung.
"Ya, Dokter?"
Dokter Lee tertawa remeh, lalu membuang muka. "Jangan menertawakanku, Jinan-ah."
Aku menggeleng tak mengerti. "T-tertawa?"
Dokter Lee mengusak rambutnya kasar. "Ah, bukankah aku terlihat seperti orang bodoh sekarang? Aku benar-benar gugup. Tidak keren sekali."
Dokter Lee kembali menggosok dari lehernya ke ubun-ubun. Ia hanya menatap garis-garis pemisah ubin tanpa menatapku sama sekali.
---
Kami duduk di meja yang dekat dengan jendela. Menu makan kami pagi ini adalah dua buah croissant dan secangkir teh manis hangat. Aku sebenarnya cukup kagum dengan pelayanan hotel yang cukup mewah meski hotel ini termasuk hotel kecil.
"Pengunjung hotel sedang banyak juga, apa karena akhir pekan?" tanya Dokter Lee sambil memandangi sekitar.
Aku melihat ke arah sorot matanya juga. Menemukan cukup banyak orang yang menikmati sarapan pagi mereka. Aku lalu mengalihkan pandangan, menatap Dokter Lee yang tersenyum dengan sangat tipis.
"Dokter?"
Dokter Lee menunjuk seorang anak kecil yang sedang berada di pangkuan wanita. Anak itu tersenyum dan menatap Dokter Lee sambil memasukkan satu jarinya ke mulut. Hatiku menghangat.
"Dokter, kau suka anak kecil?"
"Ah, ya." Dokter Lee tertawa, lalu kembali fokus pada potongan croissant-nya. "Sejak dulu aku ingin punya adik, tapi ibuku tidak pernah memberikannya. Orang tuaku bilang hanya ingin mencintaiku saja seumur hidup mereka. Jadi alasan itu aku terima dengan senang hati. Tapi tetap saja, aku sejujurnya sangat menginginkan adik. Kalau bisa yang perempuan."
Aku tersenyum.
Dokter Lee kembali menatap ke arah meja itu. Seorang pria datang dan segera duduk berhadapan dengan wanita tadi. Sebelum fokus pada piringnya, pria itu sempat membelai rambut si kecil sambil mencubit pipinya gemas. Dokter Lee tertawa melihatnya.
"Ayahku juga sangat menyayangi keluarga seperti itu. Kau tahu? Aku selalu bercita-cita untuk menjadi seperti ayahku di masa depan. Ia selalu punya waktu untuk bermain golf dengan kami di akhir pekan meski ia sangat sibuk."
"Ayahmu luar biasa. Ayahku saja yang tidak terlalu sibuk tak pernah melakukannya untukku. Ah, mungkin karena kita dari kelas ekonomi berbeda ya? Aku biasa memancing dengannya. Tapi kalau itu sih bukan karena ingin menyenangkan keluarga, itu lebih untuk judi. Kau tahu? Banyak-banyakan ikan dengan lawan."
Dokter Lee tertawa. "Oh, astaga, ada yang seperti itu?"
"Ada! Ayahku itu benar-benar." Aku jadi mengingat keluargaku di Jakarta. Aku belum menghubungi mereka minggu ini. Sedang apa mereka di sana?
"Tapi ayahmu hebat."
"Tentu saja! Kami tak pernah kekurangan makanan karena ia selalu bekerja keras siang-malam."
"Terima kasih ayahnya Jinan, karena telah bekerja keras untuk membesarkan Jinan dengan baik."
Aku tertawa. "Kau tahu? Dulu aku kena stunting, makanya tubuhku sangat pendek begini. Tapi sejak tahu itu, ayahku terus berusaha mencukupi giziku. Yah, meski tinggiku tidak bertambah, tapi aku tetap merasa sehat."
"Tidak apa-apa, kau malah jadi imut."
"Bagaimana?"
"Makan saja." Dokter Lee menutup wajahnya.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanfictionTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.