Butterflies in Our Stomach

72 12 2
                                    

Dokter Lee berhenti melangkah. Sebelum aku sempat melihat jelas di mana kami kini berdiam, ia menundukkan kepala, mendekatkan wajahnya pada wajahku. Sampai saat jarak kami begitu dekat, ia berbisik dengan suara beratnya, "Turunlah, Jinan-ah."

Aku meremang. Seiring dengan ia yang merendahkan tubuh, aku beranjak dari kukungannya. Melompat dari dalam erat lengannya. Dengan sangat hati-hati menjadikan lengan Dokter Lee sebagai tumpuan.

Ketika kakiku menyentuh aspal, rasa linu di tulang keringku tiba-tiba menyerang.

"Ah," aku mendesis. Hampir hilang seimbang. Beruntung Dokter Lee sigap menahan bahuku. 

"Hati-hati," ucapnya lembut. Ia memandang wajahku lekat. Sorot matanya sayu. Sedang aku hanya diam dengan tatapan kosong. Aku tak akan membalas tatapannya dengan cara yang mungkin ia mau.

Dan sebelum sempat kusadari, ia telah menarikku ke dalam dekapannya. Membawaku kembali hanyut dalam detak jantungnya. 

Aku benci mengakui bahwa ia begitu hangat. Bagaimana ia merengkuhku kuat-kuat, membelai rambutku dengan satu tangannya, pun mengunci seluruh tubuhku di dalam kuasanya.

 Aku benar-benar tak ingin berpindah. Bahkan sedikit menikmatinya. Perlahan ia menenggelamkan wajah ke ceruk leherku. Aku dapat merasakan bagaimana dagu itu menempel di bahu kananku. Semakin lama, pelukan itu semakin mengerat. Semakin menghangat. Tangannya sedikit bergerak, dari rambut menuju lenganku. Ia mengusapnya lembut.

Dari jarak ini, aku bahkan dapat mendengar embus napasnya yang terengah. Dapat pula aku rasakan desir nadinya. Ia begitu hidup. Tak jauh beda denganku. Intimasi kami yang lekat membuatku terbuai. Seolah sedang berbagi hidup dengannya.

Sesekali, ia menyebut namaku. Dan semakin ia melakukannya, semakin erat pula ia memelukku.

"Jinan-ah," panggilnya lagi. Nadanya selalu terdengar begitu bimbang. Cara bicaranya seolah hidup di antara lega dan frustasi.

Aku enggan menjawab panggilan itu. Sekelebat, bayangan saat Dokter Lee memeluk Nancy melintas di kepalaku. Hal itu membuatku kembali ke alam sadar.

"Dokter." Aku berusaha lepas dari kukungannya.

Dokter Lee menahanku dengan sekuat tenaga. Menarikku kembali ke dalam pelukannya.

"Dokter. Ini tidak benar." Aku terus berontak, sampai akhirnya Dokter Lee melepas dekapan hangat itu.

Ia lalu menatapku canggung, sebelum akhirnya menjauh beberapa langkah dariku. Wajahnya memerah, terutama bagian telinga, hidung, dan mata. Belum sempat aku melihat jelas raut langka itu, ia sudah berpaling muka.

"Dokter?"

Kau menangis?

Ia seolah tak menghiraukan panggilanku. Ia justru berbalik badan, memunggungiku. Aku masih menatapnya dengan penuh kebingungan.

Dokter, apa benar kau menangis?

"NHK-ssi!" panggil seseorang dengan suara riang.

Aku menoleh ke kanan, ke asal suara. Aku terkejut, melega sekaligus. "Johnny-ssi!"

Johnny berlari kencang ke arahku. 

"NHK-ssi!" serunya sambil melompat. Ia segera menghambur ke arahku. Menerjang dan memelukku dengan erat. Ia bahkan mengangkatku sedikit, membawaku berputar-putar. "Hahaha! NHK-ssi! Kita selamat!"

Aku tertawa mendengar betapa riang dirinya. Johnny lalu berhenti. Ia lalu mengambil jarak beberapa langkah dariku. Tanpa sengaja, kami saling menatap dengan riang, pun saling menggenggam tangan. 

Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang