A Japanese White Dress

78 16 0
                                    

Shin Yuna baru saja pergi. Katanya, ia akan berkemas terlebih dahulu. Maskara dan bedaknya memang sedikit berantakan setelah menangis tadi. Jadi mungkin ia ingin membereskannya lebih dulu sebelum kami berangkat ke Dongjak. 

Sejak tadi, tak ada suara di antara aku dan Dokter Lee. Kami hanya saling bertukar pandang, menelisik setiap sudut ruang tamu, lalu kembali menyesap teh hangat yang disuguhkan di atas meja. Shin Yuna yang meminta para koki untuk menahan hidangan. Jadi mereka baru memberikannya setelah kami selesai bicara. Mungkin ia telah menduga seberapa ia akan menangis dalam percakapan tadi.

Bibi Kang datang, ia lalu membungkukkan diri ke arah kami. "Nona Jinan, Nona Shin memintamu masuk ke dalam."

Aku terhenyak. Lalu menatap Dokter Lee yang juga sedikit kebingungan. Aku melihat Bibi Kang sekali lagi, memastikan apakah aku tidak salah dengar.

"Ada satu hal penting yang ingin Nona Shin bicarakan. Ini masalah wanita."

---

Dengan diantar Bibi Kang, aku masuk ke kamar Shin Yuna. Warna merah muda menghiasi seluruh ruangan. Bahkan gantungan bajunya pun berwarna merah muda. Ia benar-benar seorang gadis feminin. 

"Bibi Kang, aku jadi gugup."

Bibi Kang tersenyum lembut. "Ada apa, Nona?"

"Kamar ini bahkan lebih besar dari rumah sewaku," ujarku sambil tertawa kecil.

"Jinan-ssi!" panggil Shin Yuna sambil melambaikan tangan sedikit. Ia memberi kode agar aku mendekat padanya. Ah, rupanya ia tak sendiri. Ada beberapa orang yang terlihat menata rambut dan tata rias wajahnya.

Bibi Kang mengajakku beranjak dari tempatku berdiri. 

Ketika aku sampai tepat di samping Shin Yuna, gadis itu tersenyum. " Ambilkan satu gaun dari koleksi kasualku. Ambilkan yang paling mahal dan belum pernah kupakai."

Aku masih tak berkutik. Sesekali hanya mencuri pandang pada wajah sempurna Shin Yuna yang terpantul pada cermin. Rambutnya sedang ditata ulang sekarang. 

Sedang dari pantulan cermin itu pula, aku dapat melihat beberapa orang membuka lemari pakaian besar Shin Yuna. Lalu mengambil satu gaun yang tampak sederhana. Gaun itu berwarna putih. Begitu kasual dan elegan sekaligus. Aku hanya dapat memandangi kecantikan gaun itu dari pantulan kaca. Orang-orang tadi lalu membawa gaun tersebut ke hadapan Shin Yuna.

"Koleksi kasual Anda dari festival musim semi Jepang tahun lalu, Nona."

Shin Yuna tersenyum. "Jinan-ssi, bagaimana menurutmu? Apa baju itu bagus?"

"Kau akan sangat cocok saat memakainya, Shin Yuna-ssi," jawabku.

"Kau juga." Shin Yuna tersenyum cukup lebar sampai kedua matanya menyipit.

"Bagaimana?"

"Ayo, semuanya, tolong bantu Jinan-ssi."

Beberapa pelayan mengangguk. Mereka segera menarikku ke kamar ganti yang berada tak jauh dari meja hias. Setelah menutup curtain-nya, aku dapat mendengar Shin Yuna bicara, "Aku hanya ingin berterima kasih Jinan-ssi. Aku jadi sangat lega saat kau memelukku tadi. Jadi aku harap kau mau menerimanya."

Aku tersentuh. "Ya, Shin Yuna-ssi, sebuah kehormatan untukku."

Dengan dibantu seorang pelayan, aku mengganti pakaianku. Pelayan itu lalu mengaitkan resleting belakang gaunku. Ia lalu tersenyum sambil menatapku. "Baju ini sangat cocok untukmu, Nona."

"Terima kasih."

Ketika aku keluar dari kamar ganti, Shin Yuna memandangiku dengan raut seolah berpikir. 

"Ah, bajunya jadi terlalu panjang untukmu. Tapi tidak masalah. Ayo, kau duduk di sini." Shin Yuna menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Setelah aku duduk  di sana, beberapa pelayan keluarga Shin mulai melakukan sesuatu pada rambutku. Entah apa yang mereka lakukan.

"Jinan-ssi, maaf ya. Kau jadi harus repot-repot berganti pakaian. Hehe. Sebenarnya, aku sudah cukup lama menjadi peneliti fashion. Jadi rasanya agak canggung melihat kemeja tadi. Kau tampak tenggelam di dalamnya."

"Ah, itu punya Dokter Lee."

Shin Yuna tersenyum semakin lebar. "Wah, manis sekali! Ayo ceritakan tentang kalian! Aku ingin dengar."

"Kami hanya rekan kerja."

"Eh? Aku kira kalian berpacaran."

"Tidak, bukan begitu."

"Hahaha. Aku ini kenapa ya? Setiap melihat sepasang kekasih, selalu merasa bahwa aku dan Jisung tidak romantis sama sekali. Aku juga memikirkan hal yang sama tentang kau dan Lee Jeno-ssi. Tapi ternyata kalian berdua bahkan bukan pasangan. Um, kenapa di mataku, kalian tampak seperti saling mencintai ya?"

Aku refleks menunduk malu. Jantungku berdebar begitu kencang. 

"Ya, menurutmu, bagaimana kalau debaran ini karena kita sama-sama saling jatuh hati?"

Aku kontan menutup wajahku dengan tangan. Lalu menggeleng beberapa kali. Berusaha mengusir kalimat Dokter Lee yang lagi dan lagi terngiang di telingaku.

"Jinan-ssi, ada apa?" tanya Shin Yuna panik.

"Tidak. B-bukan apa-apa."

"Sungguh?" Shin Yuna menatapku dengan raut menggoda. "Kau tidak sedang memikirkan Lee Jeno-ssi, kan?"

"Tidak. Sama sekali tidak. K-kau, bagaimana dengan Park Jisung?" tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.

"Bagaimana ya?" tanya Shin Yuna sambil berpikir. "Jisung itu sebenarnya sangat manis. Itulah kenapa aku menyukainya. Tapi aku mungkin terlalu banyak menuntut."

Aku menatap Shin Yuna yang kini tengah mengambil napas untuk memenuhi rongga dadanya.

"Kau tahu? Nama ayahku juga Jisung. Shin Jisung. Seumur hidupku, dia tak pernah sedikit pun membuatku kecewa. Tapi tiba-tiba, satu lagi Jisung hadir dalam hidupku. Dia adalah orang yang paling sering melengkapiku, tapi juga sering menghancurkan perasaanku. Atau mungkin aku hanya terlalu menaruh ekspekstasi tinggi padanya. Biar bagaimana pun, cinta seorang ayah itu tetap tak tergantikan."

Aku tersenyum menatap Shin Yuna. Ia rupanya tak dingin dan menakutkan seperti apa yang sebelumnya ku kira.

---

Ketika kami selesai, Shin Yuna segera mengajakku kembali ke ruang tamu. Bibi Kang mengikuti kami dari belakang. Aku sedikit berbincang dengan Shin Yuna, membicarakan kucing dan sedikit tentang Jisung. 

Sampai saat kami tiba di ruang tamu, aku melihat Dokter Lee yang sedang berjalan ke sana kemari sambil sesekali melihat jam tangan. Ia juga mengusak rambutnya, pun berdecak kesal. Ia lalu berjalan lagi sambil berkacak pinggang.

"Dokter Lee?"

Dokter Lee berbalik.

"Astaga, kau dari mana saja?" tanya Dokter Lee dengan suara naik. Sampai ia terdiam sejenak saat mata kami bertemu. Aku tak begitu jelas memerhatikan ekspresinya, sebab fokusku teralihkan oleh panjang rok yang hanya sedikit melebihi lututku itu. "Jinan-ah?"

"Bagaimana, Dokter Lee?" tanya Shin Yuna.

"Kenapa rapi sekali?"

"Shin Yuna-ssi memberikan ini sebagai hadiah." Aku tersenyum tipis. Sedikit bagian dari dalam dadaku berharap agar Dokter Lee memujiku.

Dokter Lee tersenyum manis. "Bagus untukmu."

Pendapatnya membuatku begitu lega.

"Terima kasih, Dokter Lee."

---

Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang