Worst Way to Confess

75 13 0
                                    

Dokter Lee datang satu setengah jam lebih awal dari waktu yang ia janjikan. Sedang aku sudah siap, dengan meminjam gaun dan make up Putri, sejak sepuluh menit sebelum Dokter Lee datang. Jadi, karena segala kebetulan itu, kami akhirnya berangkat satu jam lebih awal.

Dokter Lee datang tanpa mobil. Ia sampai ke sini dengan angkutan umum. Dokter Wong yang memberinya saran untuk berjalan kaki. Dengan begitu, ia tak perlu susah-susah mencari tempat parkir. Sebab rumah kami berada di sebuah jalan tikus yang menanjak dan sedikit berundak-undak. Tuntutan saku, memang.

"Kau tampak lebih muda dengan pakaian seperti itu," kataku sambil melihat ke arah Dokter Lee.

"Biasanya aku terlihat tua?"

Aku hanya dapat nyengir kuda. Menatap Dokter Lee tidak enak hati. "Bukan begitu, kok, hanya saja, kau tidak terlihat seperti seorang dokter sekarang."

"Jadi? Sekarang seperti seorang mahasiswa?"

Aku memicingkan mata. Lalu tersenyum tipis. "Sedikit."

"Haha. Kau juga terlihat lebih cantik dari biasanya."

Aku menatapnya ragu. "Tapi... ini baju pinjaman."

"Lalu?"

Aku terdiam, menghindari pandangan matanya yang kini begitu menghujamku.

"Aku memujimu, Jinan-ah. Bukan bajunya."

"T-terima kasih."

Dokter Lee mengangguk. Ia lalu membuang pandangannya ke arah kanan. Berlawanan dengan aku yang berdiri di sebelah kiri. Tanpa aba-aba, ia mengusak rambutku. Membuatnya sedikit berantakan.

"D-Dokter... Nanti berantakan." Tanganku bergerak ke atas kepala, berusaha menahan tangannya.

Dokter Lee berhenti. Bukan hanya tangannya, namun juga langkah kakinya. Ia memandangku dengan tatapan lucu, sedikit memicing. Aku yang tak mengerti arti ekspresinya hanya dapat menatap bingung. 

"Bukan begitu caranya memegang tangan seseorang, Jinan-ah."

Apa? 

Oh, aku baru sadar bahwa sekarang aku sedang memegang tangannya. Meski... di atas kepalaku.

Perlahan, Dokter Lee menurunkan tangan kami berdua. Tangan kirinya memegang pergelangan tangan kananku. Ini mensejajarkan tautan itu di depan dadanya, di depan wajahku. Seolah sedang memamerkan tanganku pada diriku sendiri.

"Bolehkah?" Dokter Lee mengguncang sedikit tanganku.

"Huh?" Aku menatapnya tak mengerti.

Dokter Lee tersenyum lagi. Mengguncang tanganku lagi. "Bolehkah?"

Berpegangan tangan, maksudnya?

Aku membuang muka, menatap ke segala arah. Panik, kikuk, dan ragu.

"Jinan-ah, jadi boleh tidak?" Dokter Lee mengguncang tanganku lagi.

Aku mengangguk ragu. Sedikit tersipu. Aduh, jantungku!

Aku tak sempat melihat ekspresi Dokter Lee. Namun tangannya sudah lebih dulu bergerak dibanding kesadaranku. Kini jemari Dokter Lee telah menaut jemariku. Ia tak menguncinya. Tautan itu ringan, hanya dengan keempat jemarinya yang masuk ke perpotongan antara ibu jari dan telunjuk. Tidak lebih.

Aku tersenyum malu saat sesekali mencuri pandang ke arah genggaman itu. Rasanya seperti anak sekolah menengah yang baru pertama kali jatuh cinta. Kenapa juga aku harus malu-malu hanya untuk sekadar berpegangan tangan?

Kami sempat diam dalam waktu yang begitu lama. Aku hanya menoleh ke kanan-kiri, menatap ke arah toko-toko yang baru mulai buka, atau beberapa orang yang lari mengejar bus. Aku biasanya juga begitu. Hanya saja, hari ini aku aman.

Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang