"Pak, saya beli bakmi satu porsi, bakso nya pake yang kecil aja. Pedesnya jangan terlalu banyak, ya." Akhirnya, setelah menunggu antrean yang penuh, tiba lah saat dirinya memesan bakmi favoritnya yang tak kunjung sepi.
Bapak penjual bakmi tersenyum tidak enak. "Maaf dek, tapi bakmi nya baru aja habis. Besok lagi ya."
"Yah... Kok habis sih?!" Jiela memalingkan wajahnya, menghela nafas panjang.
Hari ini Jiela memaksa diri untuk pergi Sekolah, karena berangkat sekolah membuat dirinya merasa lebih baik. Di bandingkan berdiam diri di Rumah tak bernyawa berselimut kesunyian, dan di rundung kekhawatiran yang tak kunjung terobati.
"Iya dek habis, adeknya kalah cepet nih sama mas nya."
Jiela cemberut, padahal ia sudah membayangkan betapa nikmat nya makan bakmi setelah sakit. Memang terkadang segala keinginan, tidak selalu berujung manis.
Kala melihat cowok di samping penjual bakmi yang sedang membayar makanannya, Jiela langsung mendekatinya. "Reyyen, bakmi nya buat gue dong. Gue bayar deh tiga kali lipat."
Reyyen menjawab dengan cepat, "Enggak."
"Yaahh... Pelit lo! Gue bayar lima kali lipat gimana? Please Rey, gue tuh pengen banget bakmi dari kemarin." Jiela memohon pada Reyyen, dan menunjukkan wajah memelasnya.
Reyyen menyimpan tangan kirinya ke dalam saku, karena Jiela terus saja menggoyangkan tangannya. Antisipasi, takut bakmi nya tumpah akibat guncangan.
"Bukannya pelit, gue lagi laper. Lagian, lo bisa beli bakmi di luar sekolah. Udah yah, gue mau makan dulu. Lo simpen aja duitnya daripada beli bakmi lima kali lipat, mending beli makanan yang lain."
"Enggak mau, gue maunya bakmi kantin."
"Dih, nih cewek bikin gue emosi aja. Yaudah kalau lo mau bakmi kantin, bukan urusan gue juga." Reyyen melenggang pergi, meninggalkan Jiela. Karena perutnya sudah laper, dan tangannya pegal menahan nampan.
Jiela mengirinyit heran, setelah mendengar perkataan Reyyen. Apa tidak salah, cowok itu mengatakan dirinya sudah membuatnya emosi. Lalu apa kabar dengan Jiela yang sering di buat emosi olehnya.
Baru istirahat pertama, ada aja orang yang membuatnya kesal. Tetapi, Jiela mulai belajar untuk tidak meluapkan emosinya, untuk meminimalisir penyesalan.
Sudah tidak ada gunanya lagi berada di kantin, lebih baik Jiela kembali ke kelasnya. Entah kenapa dari sekian banyaknya stan makanan di kantin, untuk hari ini hanya bakmi yang memikat di matanya.
Hp nya bergetar, mendapat pesan terbaru dari teman-temannya yang menanyakan kenapa dirinya pergi duluan dan tidak balik ke meja untuk bergabung dengan teman-temannya di kantin. Jiela hanya menjawab, dirinya sedang pusing dan mau menyendiri sehingga memutuskan untuk lebih dulu ke kelas.
Kelas terlihat kosong melompong, hanya segelintiran siswa yang menetap di kelas. Di antaranya, siswa yang memilih mengerjakan tugas yang tertinggal, bermain game, ataupun makan di kelas karena membawa bekal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat Takdir [COMPLETED]
Teen FictionKesialan hidupnya di Sekolah dan tingkat emosinya meninggi, berawal dari laporan praktikum Biologi. *** Kalau bukan karena cowok sialan yang menumpahkan air pada laporannya. Kalau bukan karena Bu Dinar yang menyuruhnya untuk mengganti ulang judul p...