Tidak ada yang mau membuka suara duluan. Keduanya lebih memilih diam seperti mayat berjalan. Mulut keduanya saling terkunci rapat, tetapi tidak dengan matanya. Kedua pasang mata itu saling melempar lirikkan tajam.
Selepas kepergian Bu Eva pun, keduanya masih diam tak berkutik.
Reyyen menghela nafas panjang, kalau seperti ini terus kapan selesainya. Bisa-bisa mereka berdua pulang malam. "Ayo ke perpus."
"Hm?" Jiela bersedekap dada, menatap songong pada cowok di depannya ini. "Kata bu Eva ke UKS dulu."
"Enggak usah, buruan lah biar cepet balik." Karena cewek ini lama, Reyyen berjalan duluan meninggalkannya. Tetapi, Jiela menghentikannya dengan menarik lengan jaketnya.
"Di suruh bu Eva ke UKS dulu, Reyyen. Jangan bikin gue emosi terus lah, gue capek." Jiela merutuki dirinya sendiri, untuk tidak menyemburkan api emosi.
Lagi-lagi selalu salahnya. Reyyen mendekat, menundukkan wajahnya untuk dapat menatap mata Jiela. "Gue tanya, siapa yang suruh lo emosi?"
Jiela berdecak kesal, berbicara pelan, "Sabar Jiela, orang sabar banyak yang sayang."
"Cepetan ayo ke UKS dulu." Jiela menarik lengan Reyyen untuk mengikutinya berjalan menuju ke UKS.
"Ih berat! Jalan lo jangan di tahan dong! Gue berasa narik hiu, berat banget," gerutu Jiela.
"Gue tanya sekali lagi, siapa yang nyuruh lo narik gue ke UKS?"
Tahan, emosinya masih bisa di tahan, karena kali ini stok kesabarannya di lebihkan, sengaja takut ada keperluan mendadak.
"Reyyen? Lo tau bacot kan? B. A. C. O. T alias bacot banget mulut lo, mending diem ikut gue ke UKS dan selesai." Jiela kembali menarik lengan Reyyen dan menyuruhnya untuk membersihkan lukanya sendiri.
"Lo nyuruh gue ke UKS, tapi lo suruh gue yang bersihin lukanya?" Pertanyaan Reyyen itu cukup membuat Jiela menggerutu.
"Kali ini gue yang tanya, siapa yang buat lo luka? Gue? Bukan kan, jadi lo sendiri yang bersihin lukanya. Lo tuh harus mandiri. Dan satu lagi, lo harus inget yang nyuruh lo ke UKS itu bukan gue, tapi bu Eva. Inget ya, Reyyen, bu Eva." Jiela menekan ucapannya di setiap kata-katanya.
Cewek itu senang, perkataannya itu cukup membuat mulut Reyyen bungkam dan tidak mengeluarkan suara lagi. Tapi, karena lama, Jiela menghampiri Reyyen yang sedang fokus dengan obat-obatan.
Jiela melongo, lalu mengambil alih obat merah dari tangan Reyyen. "Bukan gitu dong pake nya, jangan pake tangan!" Jiela mengambil kapas, lalu menuangkan obat merah pada kapas. "Kaya gini! Jangan bego kaya gitu dong!"
"Gue kan gak tau," ucap Reyyen dengan polosnya.
Jiela mendengus, cowok ini sukses membuatnya kerepotan. "Yaudah buruan lo duduk di situ, biar gue obatin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat Takdir [COMPLETED]
أدب المراهقينKesialan hidupnya di Sekolah dan tingkat emosinya meninggi, berawal dari laporan praktikum Biologi. *** Kalau bukan karena cowok sialan yang menumpahkan air pada laporannya. Kalau bukan karena Bu Dinar yang menyuruhnya untuk mengganti ulang judul p...