Nyaman sekali terbangun pagi hari di kamar sendiri. Apalagi setelah capek melakukan perjalanan puncak, rasa nyaman nya menjadi berkali-kali lipat.
"Kak, bangun! Ayo turun, sarapan dulu!" Suara itu ... Benar-benar Jiela rindukan.
Jiela segera turun ke lantai satu, menghampiri meja makan. Takut, jika Mamanya berteriak lagi seperti tarzan.
Omong-omong, Jiela senang sekali, apa yang menjadi harapannya benar-benar terkabul. Kemarin, saat dirinya kecapekan setelah pulang dari Lombok, Jiela disuguhi Mamanya yang menunggu dirinya pulang di ambang pintu. Rasanya lelah yang ditanggungnya hilang seketika.
"Masakan Mama tetap enak, 'kan?" Mama bertopang dagu menunggu Jiela mengunyah makanannya.
Selesai menelan makanan, Jiela mengangguk lalu meminum air putihnya. "Masih enak, Mah. Andai aja Mama tiap hari masakin aku kaya gini."
Terlihat senyum kecut yang ditampilkan dari Mamanya. Ia tak suka jika anaknya menyinggung soal dirinya yang jarang pulang atau memintanya untuk tinggal kembali di Jakarta.
"Kamu tau Mama kerja. Bukan senang-senang."
"Ya. Jiela selalu tau itu."
Mamanya tersenyum, anaknya memang penurut. "Papa mu lagi on the way kesini. Mau kasih kejutan?"
Mata Jiela berbinar, ya Tuhan Jiela senang sekali. Ada Mamanya di depannya juga Jiela sudah senang, apalagi di tambah kehadiran Papanya.
Jiela mengangguk antusias. "Mau banget. Kita buat kejutan paling meriah deh buat Papa. Kan jarang-jarang kita kumpul."
"Oke deh, sekalian Mama mau pesen dulu cake kesukaan Papa kamu." Mama meraih hp nya, memilih cake untuk Papa. Tetapi raut wajahnya berubah kebingungan.
"Cake yang biasanya dipesan Papamu biasanya apa, sih? Red velvet, ya, Kak?"
Jiela mendengus. Jadi bertanya-tanya dalam benaknya, apa Mama dan Papanya ini jarang menghabiskan waktu berdua, sampai Mamanya lupa cake kesukaan Papanya.
"Itu kesukaan aku. Papa suka cheese cake."
Mama menepuk dahinya berkali-kali. "Ya ampun, Mama udah tua deh kayanya. Jadi lupa."
"Itu dampak buruk dari kerja melulu. Jadi cepat lupa. Bentar lagi juga rambut Mama jadi putih semua," sindir Jiela.
"Kamu ini!" Mamanya mau melontarkan kalimatnya, tetapi dering telponnya mengalihkan perhatiannya. "Mama angkat telpon dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat Takdir [COMPLETED]
Teen FictionKesialan hidupnya di Sekolah dan tingkat emosinya meninggi, berawal dari laporan praktikum Biologi. *** Kalau bukan karena cowok sialan yang menumpahkan air pada laporannya. Kalau bukan karena Bu Dinar yang menyuruhnya untuk mengganti ulang judul p...