Angin Rinjani begitu menusuk kulit, tapi itu tak jadi masalah, karena puncak sedang menunggu mereka.
Pukul dua malam, mereka sudah bersiap untuk summit. Sebelum itu mereka sudah makan roti dan coklat hangat untuk mengganjal perut.
Semuanya melingkar membentuk lingkaran. Kevin memberi komando. "Berdoa sesuai kepercayaan, mulai."
"WOHH! SEMANGAT SEMUA!!"
"STAY SAFE YA."
"Absen dulu, ya? Kia?" Kali ini yang mengabsen Reyyen.
Ehsan mendengus. "Haduh, udah kaya anak TK." Langsung mendapat cibiran dan pukulan dari Ziva.
"Aman." Jawabnya dengan tidak bersemangat. Tadi Ehsan banguninnya gak nyantai, membuatnya kesal.
"Jie? Anna?"
"Hadir." Jawab keduanya bersamaan.
"Ziva?"
"Hm, ada."
"Kevin?"
"Yo, gue sehat."
"Rafael?"
"Baik."
"Dareen? Andrian?"
"Ya ini gue."
"Gue ada."
"Dan, Ehsan?"
"Hadiroh." Jawabnya dengan Bahasa arab.
Reyyen terkekeh, "Mantan anak pondok mah beda ya jawabnya."
"Iya dong, anak sholeh gue tuh sebenernya." Ehsan menjawab dengan nada sombong.
Andrian mencibir, "Dulu sih sholeh, sekarang mah bejad."
"Astaga Yan!"
Mereka mulai menyusuri perjalanan berupa pasir padat yang berkelok-kelok. Trek nya sulit jadi harus berhati-hati.
Berkali-kali Reyyen memastikan teman-teman yang berada di depannya tetap aman, dan tak lupa memastikan dirinya pun tetap aman.
Baru saja Reyyen bernafas lega, Ziva, cewek di depannya ini nyaris tergelincir untungnya tangannya sigap mencekal lengan Ziva sebelum jatuh. Ziva hampir saja berteriak, untungnya ia bukan cewek seperti Kia jadi tetap kalem di situasi seperti ini.
"Makasih Rey."
Kalau tidak mengingat dirinya sedang jalan menuju puncak, Ziva sudah mengirimkan ucapan beribu terimakasih. Tetapi karena oksigennya mulai menipis membuatnya sulit berbicara.
Reyyen mengulurkan tangannya pada Ziva, takut jika kejadian tadi terulang.
"Pegang tangan gue, Ziva." Dan Ziva menerima uluran tangan, karena dirinya pun takut tergelincir lagi.Sementara Jiela yang mendengar ucapan Reyyen, refleks mendengus. Untung saja Jiela tidak melihat adegannya, karena dirinya berada di depan Ziva. Tapi tetap saja ucapan Reyyen yang menawarkan uluran tangan pada sahabatnya, cukup mengganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat Takdir [COMPLETED]
Teen FictionKesialan hidupnya di Sekolah dan tingkat emosinya meninggi, berawal dari laporan praktikum Biologi. *** Kalau bukan karena cowok sialan yang menumpahkan air pada laporannya. Kalau bukan karena Bu Dinar yang menyuruhnya untuk mengganti ulang judul p...