Setelah sudah mendapatkan hasil diskusi mengenai laporan praktikum, yang sudah di sepakati oleh keduanya, Jiela berpamitan pada Reyyen untuk ke kelas. Tetapi sebelum pergi, Jiela menyempatkan untuk bertanya.
"Btw, lo mau kemana? Kelas?" Entahlah mengapa mulutnya harus bertanya seperti ini. Jiela hanya merasa dirinya harus sedikit berbasa-basi.
"Kantin, gue belum makan. Lo harusnya berterimakasih sama gue, karena udah luangin waktu makan untuk diskusi."
Jiela memutar bola matanya malas. "Mulai lagi lo nyebelinnya, padahal tadi lo udah jinak. Lagian, untuk apa gue berterima kasih? Ini kan memang salah lo, udah sepantasnya lo tanggung jawab."
Kata itu lagi, lama-lama Reyyen jadi trauma dengan kata itu. "Enggak usah pake kata tanggung jawab lah."
"Terus apa?" Jiela bingung.
"Ya apa kek, kosa kata lain masih banyak."
Jiela terdiam sebentar, "Kenapa sih?" Sedetik kemudian, Jiela terbahak karena teringat satu kejadian.
"Bilang dong kalau takut di sangka yang enggak-enggak."
Reyyen menatap Jiela tajam. "Gara-gara lo."
"Lah? Gue kan bener, itu sih, bapak nya aja yang mikirnya macem-macem. Lo juga sama aja, otak lo gak positif thingking."
Reyyen mendengus, jika terus seperti ini dirinya akan terjebak dalam perdebatan yang pastinya tidak akan ada akhirnya, bahkan sampai tahun monyet pun tidak akan selesai.
"Lo ke kelas, gih! Ngoceh mulu, suara lo gak enak di denger."
Jiela melotot, tidak terima di katain seperti itu. Padahal dirinya itu sering menjadi pengisi di acara podcast yang terkenal, itu berkat suaranya yang enak di dengar. Tapi, manusia satu ini berbeda sendiri. Biarlah, mungkin Reyyen mau berbeda.
"Iya deh, apa kata lo yang paling enak suaranya." Jiela mendelik.
Reyyen terkekeh, ia tahu cewek di depannya sedang kesal. "Kapan lo ke kelas nya?"
Tuh kan, hampir saja Jiela lupa. Ini karena, cowok di sampingnya ini yang selalu saja memancing emosinya untuk naik, sehingga Jiela menjadi mudah lupa. Jangan sampai deh, Jiela jadi tua di usianya yang muda ini.
"Lo duluan!" desak Jiela.
"Lo aja!"
"Cepetan lo aja!"
Reyyen menahan kekehannya, "Lo aja duluan, lo kan cewek."
Jiela menatap Reyyen garang. "Ih, ribet lo, awas sana minggir!" Jiela pergi sambil menghentakkan kakinya kesal.
Setelah Jiela pergi, Reyyen bergegas jalan menuju kantin. Reyyen sudah terbiasa ke kantin paling akhir, demi mendapat ketenangan juga banyaknya meja kosong. Karena, kantin jika di waktu pertama selalu penuh. Apalagi, kantin kelas sepuluh yang sedang di renovasi sehingga semua murid bertemu di satu kantin yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat Takdir [COMPLETED]
Teen FictionKesialan hidupnya di Sekolah dan tingkat emosinya meninggi, berawal dari laporan praktikum Biologi. *** Kalau bukan karena cowok sialan yang menumpahkan air pada laporannya. Kalau bukan karena Bu Dinar yang menyuruhnya untuk mengganti ulang judul p...