Tulus
Manusia Kuat.Dua hari setelah proses pemakaman.
Keluarga Mahanta masih di selimuti kesedihan. Keluarga jauh ataupun kerabat dekat, relasi bisnisnya, bahkan teman-teman angkatan Mahanta saat kuliah dulu masih berdatangan memberikan bela sungkawa.
Sejak proses pemakaman, Jiela tak berniat untuk keluar kamar. Sibuk merenung, menangisi mendiang Papanya. Sama halnya seperti Mamanya yang juga diam mengurung diri di dalam kamar. Beruntung sekali, Tante dan Omanya berkenan pasang badan mengahadapi tamu yang datang.
Entah sudah berapa banyak air mata yang keluar dari matanya, yang jelas tangan kirinya masih setia memegang figura fotonya bersama sang Papa. Dulu, foto itu di ambil, saat bermain air, sedangkan Papanya sedang membersihkan mobil. Semua kenangan masa kecil dengan Papanya, otomatis terputar dalam rekaman memorinya, membuat kepalanya pening seketika.
Suara itu terdengar lagi...
Teriakkan sekaligus tangisan memilukkan yang Jiela dengar.
Sejak semalam, Jiela mendengarnya.
Jiela menghela nafas lega, ketika suara itu sudah mulai reda. Hatinya sakit sekali ketika mendengarnya, membuatnya teringat akan memori kelam masa kecilnya.
Mamanya kembali berteriak.
Jiela takut. Ia takut. Mamanya akan memukulnya. Jiela menutup matanya, seolah dirinya kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Saat dirinya menenangkan Mamanya yang sulit merelakan Alora.
Ya, Alora.
Adiknya tersayang. Sudah berpulang kepangkuan-Nya. Berbahagia di sana. Tidak merasakan lagi rasa sakitnya di dunia.
Matanya masih terpejam kuat. Ia ketakutan. Tapi, Jiela baru tersadar bahwa ia bukanlah gadis kecil berusia tujuh tahun. Jiela sudah gadis remaja berusia tujuh belas tahun sekarang. Ia berusaha menyadarkan dirinya sendiri.
Dia berani. Jiela percaya pada suara hatinya. Langkahnya terayun menuju kamar Mamanya yang terletak di sebrang kamarnya.
Di luar kamar Mamanya sesak dengan orang, ada Oma dengan raut cemas, Tante dengan raut ketakutannya, dan dokter yang berusaha menangani Mama yang masih menangis meraung-raung.
"Sepertinya bu Lika, tidak boleh di ganggu dulu, itu bisa membuat kesehatan mentalnya semakin terganggu." Dokter menyarankan, lalu lanjut berbincang dengan Oma untuk mengetahui apa tindak lanjut yang terbaik untuk kesehatan Mamanya.
Tante memeluk Jiela erat, tubuhnya terguncang, ia seperti terkejut melihat kondisi Mamanya.
"Kamu makan, ya? Bibi bilang dari kemarin piringmu utuh. Mamamu lagi sakit, masa kamu ikutan sakit?"
Jiela hanya mengangguk. Bibirnya terangkat, tersenyum, setidaknya masih ada yang peduli dengannya. Ia berterimakasih atas itu.
Membuka pelan pintu kamar Mama, dan menutupnya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Koordinat Takdir [COMPLETED]
Teen FictionKesialan hidupnya di Sekolah dan tingkat emosinya meninggi, berawal dari laporan praktikum Biologi. *** Kalau bukan karena cowok sialan yang menumpahkan air pada laporannya. Kalau bukan karena Bu Dinar yang menyuruhnya untuk mengganti ulang judul p...