28. Sunyi di balut Luka

42 3 2
                                    


"lu baik-baik aja kan?" tanya Arga, yang kini berdiri dihadapan gua.
"baik, cuma agak pusing." terang gua.
"lu sama Leka lagi berantem?" tanyanya sembari menutup gerbang.

Ya sekarang gua udah sampe di rumah Arga, gua baru aja pulang dari perlombaan Fhotografer, yang membuahkan hasil karena gua mendapatkan juara satu!!

Author: Selamat Gani!

"kepo!" tembal gua ketus.
"jawab bego!" protes Arga.
"lu gak bakal, ngucapin selamat ke gua?" tanya gua, mengalihkan topik.
"Leka makin deket aja sama Gabriel!" terang Arga, masih membahas topik yang sama.
Gua tau Ar! Batin gua.

Gua pergi begitu saja meninggalkan Arga, yang kini terlihat geram!
"bokap gua balik!" terang Arga, dibarengi dengan cairan merah yang keluar dari hidung gua.

Gua tau Arga sedang membutuhkan gua, tapi cairan ini membatasi semuanya.
"gua,,," belum sempat gua melanjutkan kalimat gua, ayah Arga keluar dari rumah dengan tergesa-gesa.

"Mas kamu jangan pergi!!" teriak bunda Maya, Maya adalah bunda Arga.
"saya harus pergi!" tegas si Ayah.
"kalo Ayah tetep mau pergi ninggalin bunda, Arlis bakal bunuh diri!" ancam Arlis yang kini memegang pisau belati milik ayahnya sendiri.
"saya akan tetap pergi!!" tegas si Ayah.

Arga bergegas menghampiri Arlis, berniatan untuk merebut benda tajam itu, namun semua sudah terlambat! Pisau belati itu terjatuh kelantai, dibarengi tubuh Arlis yang tersungkur dengan lengan berumuran darah!!

"ARLIS!!!" teriak sang ibunda.
Arlis! Batin gua.

Kepala gua rasanya amat sakit! Pandangan gua mulai kabur, gua tau semuanya akan terjadi! Tapi mengapa terlalu rumit.

Langkah gua amat berat, gua dapati Bunda, dan Arga menangisi Arlis, rasanya dunia amat kejam! Karena telah merengut keharmonisan keluarga Arga.

"Arlis!" seru gua lirih.
"Gan! Hidung lu berdarah?" tanya Arga khawatir.
"kita harus bawa Arlis ke rumah sakit!" perintah gua.

***

Pagi ini gua bukan hanya memikirkan tentang keluarga Arga tapi juga tentang kematian Gabriel yang secara tiba-tiba.

"gua udah larang dia buat konsumsi obat-obatan itu!" seru Samuel dibarengi isak tangis.

Samuel tersungkur ketanah merah yang masih basah, ia menatap batu nisan yang bertuliskan Gabriel Mosha Immanuel.

"gua udah larang lu, kenapa lu gak bisa ngalahin ego lu begooo!!" teriaknya penuh sesak dihati.
"Sam udah Sam." seru Nada, si gadis cantik yang kini sudah menjadi kekasih Samuel.

Leka menatap gua tajam, gua dapati matanya sembab. Gua berusaha memalingkan pandangan berharap Leka tidak bisa melihat pelupuk mata gua yang menangisi semua peristiwa ini.

Satu-persatu orang-orang mulai meninggalkan pemakaman Gabriel, dibarengi dengan turunnya hujan, seperti mengerti bahwa mahluk bumi sedang menyembunyikan air matanya.

Payung-payung hitam, mulai menghiasi pemakaman, angin berhembus membawa segala mimpi buruk semakin nyata.

Leka tak bersuara, hanya berdiam menikmati rintikan hujan, sembari menatap tanah merah itu dengan tatapan sendu.

Apakah Leka mulai mencintai Gabriel? Apakah gua pantas untuk menyatakan cinta padanya?

***

Kini disini, di tempat sunyi di penuhi pohon rindang, yang menemani setiap kesunyian di hidup gua.

Sheka, kini berada di pelukan gua, gua bisa merasakan bertapa terpukulnya Sheka atas kematian sang Kakak.

"kak Gani, ini titipan dari bang Gabriel buat kakak." seru Sheka sembari tersenyum letih.
"makasih She." terang gua datar.

Sebuah kotak putih yang terlihat sederhana, namun mampu membuat gua terenyuh.

"bang Gabriel, orang baik kok. Dia cuma berontak aja karena dia berpikir dunia gak pernah ada di pihak dia." seru Sheka lalu kembali menyandarkan kepalanya di dada gua.


Kepergian bukan untuk di tangisi, tapi isak tangis tak dapat di bohongi!
Gabriel, mungkin bukan semesta yang tak berpihak padamu, akan tetapi tuhan yang berkehendak!

Januar Damara Argani

Satu minggu sudah berlalu rasanya, baru kemarin Gabriel ada di dunia ini!

"kak Gani?" tanya Sheka lirih.
"iya." tembal gua lemah.
"aku cinta sama kakak, dan akan tetap begitu! Walau aku tau bukan aku yang ada di hati kakak" seru Sheka.

Gua hanya tersenyum, kalimat itu sudah tidak asing gua dengar dari mulut sheka.

"She, kamu itu udah aku anggap sebagai adik aku!" terang gua.
"selamanya?" tanya Sheka.
"ya selamanya!" jelas gua.
Sheka semakin memeluk gua erat!

Bukan hati yang tak pantas untuk kau cintai.
Akan tetapi, juga bukan aku cinta sejatimu!
She, bersandarlah di bahuku, agar kamu tau! Aku lah ruang sunyi itu.

Januar Damara Argani

***

"gua benci sama lu!" seru Leka dengan tangisnya.
"gua terima itu." terang gua.
"gua bingung sama lu, apa susahnya sih! Tinggal bilang kalo lu cinta sama gua!" tanya Leka dengan tatapan semu.

Gua menghela nafas berat, seakan-akan jika kalimat itu gua ucapkan kita akan semakin terluka.
"gu-gua takut Leka!" seru gua terbata-bata.
"takut apa? Lu takut karena apa Gan?" tanyanya mendesak.
"apa harus gua menyatakan cinta sama lu? Kalo lu udah tau perasaan gua ya udah!" seru gua.
"ya udah? Ya udah gimana maksud lu Gan!?" tanya Leka kesal.
"ya udah kita sampe disini aja! Gua,," belum selesai gua bicara Leka mendaratkan telapak tangannya tepat di pipi gua.

Plak!!

"pengecut!! Lu pengecut." bentak Leka lirih.
gua gak bisa, gua gak siap buat semua ini! Batin gua.
"gua benci sama lu!" seru Leka, pergi meninggalkan gua sendiri di Koridor rumah sakit Harapan.

***


Satu bulan kemudian...

"umi." seru gua.
"apa kabar Gani?" tanya umi lembut.

"kabar Gani baik umi, Umi sendiri?" tanya gua penasaran.
"berdua atuh sama papih!" terang umi.

Umi adalah ibu tiri gua, dia adalah wanita yang sangat dicintai papih.
"mamih kamu gak ada niatan untuk pulang? Kamu kan lagi sakit!" suara pria itu terdengar agak keras.

Ya, satu bulan ini gua terbaring lemah dirumah sakit!

"mamih lagi ada urusan!" seru gua memper tegas.

"Gani, ada seseorang yang mau ketemu kamu." seru Umi, membuat gua keheranan.

Tunggu kelanjutannya yaaa

Salam AlaskaRindu

Dia Dialeka [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang