[1]4: Sakit

960 116 2
                                    

Sinar sudah menembus jendela. Suasana pagi hari mulai terasa. Wonyoung tetap merebahkan dirinya. Setidaknya ia tidak perlu repot pergi ke sekolah. Bukan malas karena belajar tapi karena orang-orangnya. Tidak semuanya sih.

Wonyoung harap kelulusan sudah dekat, karena saat ini adalah awal pertengahan semester dua. Yang perlu ia lakukan hanyalah belajar saja tanpa memedulikan orang lain.

Dua minggu lagi adalah ujian tengah semester. Setelah itu belajar kurang lebih sebulan, kemudian ujian sekolah, lalu dua minggu selanjutnya ujian nasional pada tanggal 29 April.

Wonyoung beranjak dari tempat tidur untuk cuci muka. Kemudian melakukan aktivitas sehari-harinya seperti biasa. Hanya bermain hp.

Bosan bermain hp Wonyoung merebahkan badannya lagi di kasur. Ia benar-benar bosan. Tak ada hal yang bisa dia kerjakan. Main game tidak bisa, menggambar tidak bisa, kalaupun chat-an tidak ada orangnya. Mau merapikan kamar sudah rapi. Keluar rumah malas.

Alhasil Wonyoung hanya diam saja. Merenungkan apa yang telah terjadi kepadanya selama ini.

Wonyoung khawatir orang tuanya mengetahui bahwa ia dibully di sekolah. Akhir-akhir ini orang tuanya memberi perhatian ke dirinya tidak seperti biasanya. Wonyoung tidak mau membuat orang tuanya khawatir. Walau rasanya tidak enak tapi Wonyoung masih bisa menghadapinya.

Sejak masuk SMP Wonyoung tidak terlalu bisa berteman dengan orang lain. Lebih tepatnya tidak bisa akrab dengan orang lain. Jadi dia hanya berteman biasa, tanpa ada sahabat atau teman ngobrol.

Jadi selama ini Wonyoung selalu sendirian. Mau kemana-mana sendirian. Kalau diajak temannya dia ikut-ikut saja.

Sebenarnya Wonyoung sangat kesal, alasan mengapa ia dibully konyol sekali.

"Biasalahh, memang murni bodohnya," ucap Wonyoung dalam hati.

.
.
.

"Wonyoung."

"Ya?" Wonyoung mendongak ke atas.

"Enak banget ya ga pernah dimarah."

"Hah? Ni anak ngomongin apa?"

"Kalo kamu ngelakuin kesalahan pasti dimaklumin aja, terus kalau ada apa-apa pasti kamu yang dipanggil."

"Tapi gak terlalu enak juga. Repot juga kan kalau kamu terus aja dipanggil."

"Tapi kamu jadi pusat perhatian."

"Ehhm...iya sih."

"Apa aja yang kamu lakuin?"

"Cuma belajar sama ngerjain tugas."

"Tapi otakmu pandai aku gak."

Wonyoung hanya terkekeh.

"Berusaha aja."

.
.

Keesokan harinya dimana hari itu adalah hari paling sial bagi Wonyoung. Tugasnya hilang. Padahal itu adalah pelajaran guru killer. Dia pun dihukum berdiri di luar kelas. Untungnya pelajaran itu jam terakhir. Jadi Wonyoung tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja ia masih kesal dimana tugasnya, padahal jelas-jelas dia sempat membukanya pagi tadi.

Bel berbunyi. Jam pulang. Wonyoung kembali masuk ke kelas dipanggil gurunya. Ketika yang lain sudah bersiap-siap pulang dia masih menghadapi gurunya.

"Wonyoung, kenapa kamu tidak membuat tugas?"

"Saya sudah buat, tapi saya lupa bawa. Maaf pak," bohong Wonyoung, malas untuk menceritakan yang sebenarnya. Nanti malah makin panjang saja dan ia akan telat pulang.

"Baiklah," pak killer itu mengangguk, lalu keluar kelas.

Wonyoung merapikan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Tiba-tiba saja tasnya disambar oleh temannya. Wonyoung sontak menoleh.

"Gimana rasanya dihukum?" ucap temannya itu dengan nada yang sengaja dijelekkan agar Wonyoung naik darah.

Dua temannya lagi pun sudah ada di belakangnya, untuk mencegah Wonyoung kabur.

"Kamu kenapa?" tanya Wonyoung.

"Aku ga suka sama kamu," temannya mendorong sebelah pundaknya dengan tenaga kecil tapi hal itu dilakukan beberapa kali. Tentunya Wonyoung sudah emosi terhadapnya.

"Kamu iri?" tanya Wonyoung lagi.

"Iya," jawab temannya jujur.

Plak

Wonyoung merasa kesakitan di pipinya. Suaranya keras sekali. Temannya pun melakukan lagi, lebih keras.

Wonyoung tidak menyangka akan ditampar seperti ini. Ia kira hanya dikatain saja.

"Mau diapain lagi?"

"Mending aku ngelaporin kalian," ucap Haruto tiba-tiba. Dia sengaja menunggu Wonyoung pulang tapi sesuatu malah terjadi.

Temannya pun langsung melepaskan Wonyoung lalu pulang. Haruto menghampirinya.

"Pipimu merah," ucapnya sambil hendak memegang pipi Wonyoung. Tapi Wonyoung sudah keburu mengelak.

"Ya gak apa," Wonyoung mengambil tasnya. "Makasih ya."

Wonyoung pun buru-buru pulang. Di gang rumahnya dia menendang tong sampah yang ada di pinggir jalan. Untungnya tidak sampai berantakan.

"Buset itu anak kenapa??" komentar si kasir kedai di dekat sana.

"Huuh! Apa-apaan cobak!" Wonyoung marah-marah. "Gitu doang langsung buli! sok-sokan nampar lagi, kalo aku pukul tepar tu anak!"

.

"Dia...anak yang kadang muncul di pikiranku sama orang lainnya..."

"Ditambah aku jadi total ada dua belas orang...maksudnya apa?"

"Di masa depan aku bakalan ketemu sama mereka semua..."

"Tapi harusnya belum tentu bener juga."

.

"GOBLOK!" Wonyoung mengumpat terus sampai tetangganya menengok keluar.

Wonyoung masuk rumahnya. Lempar tas ke sofa lalu ambil jajan di kulkas. Kemudian duduk di lantai dapur dengan muka masam. Kebiasaan Wonyoung ketika moodnya hancur.

.
.
.

"Hahh," Wonyoung menyampingkan badan dan memeluk gulingnya hendak tidur. Pikirannya menjadi jelek lagi mengingat masa lalunya.

.
.
.

Bersambung

My Protector \\ IZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang