[3]23-2: Perasaan dan Keinginan

366 54 4
                                    

"Sebentar," Yuna menarik Wonyoung agar dekat padanya.

"Kok jadinya sad banget ya?"

"Kamu sendiri yang pilih topiknya."

"Iya sih, tapi aku gak nyangka mukanya Yujin sampe pasrah gitu," Yuna dan Wonyoung berbisik-bisik.

"Kedengaran bege," cemoh Yujin.

"Eh iya ya? Maaf," Yuna menggaruk kepalanya.

"Udahlah itu masa lalu. Aku juga udah mulai lupa."

"Hmm bener juga, cuma masa lalu."

"Jadi sekarang kita ngapain?"

Hening.

"Be-belajar bareng gimana?" usul Wonyoung.

"Okelah," Yujin dan Yuna setuju-setuju saja. Mereka berdua juga sudah bosan.

"Aku ambil kertas sama pulpen dulu," Yujin pergi ke kamarnya.

.
.

"Udah satu jam aja, tumben aku belajar serius di rumah," ujar Yujin.

"Sama, aku belajar di sekolah aja."

"Aku bukan golongan kalian" timpal Wonyoung.

"Kok bisa ya ada anak rajin, kenapa aku itu nggak," ucap Yuna. "Kalau dijawab usaha sama niat, rasanya anak yang rajin juga gak kayak gitu."

"Aku belajar karena memang harus, tapi niat sih nggak," ujar Wonyoung. "Tapi bukannya kalian lebih pinter? Kalo aku lihat kalian itu cuma butuh sekali penjelasan aja langsung ngerti."

"Oh gitu ya," Yuna tersenyum bangga.

"Cepat tanggap iya, langsung lupa iya," Yujin membenarkan.

"Bisa pake cara SKS" Yuna menanggapi Yujin. "Kalau Wonyoung?"

"Aku lebih suka belajar jauh-jauh. Kalo kebut semalam aku malah bingung, jadi kepikiran."

"Wah, tipe primadona sekali."

"Tapi aku nggak selevel mereka."

"Kita juga," Yujin meregangkan tubuhnya. "Satu paket udah habis, lumayan"

"Huft," Yuna menyender di sofa. "Jadi haus."

"Oh iya, kalian tetep termasuk tamu ya," Yujin buru-buru menyiapkan minuman dan cemilan.

"Wah banyak ada jajan. Kulkas di rumahku kosong, adanya sayur aja," ujar Yuna.

"Minumannya cuma air putih," Wonyoung ikut melengkapi.

"Kalo gitu makan aja sepuasnya," balas Yujin. "Kebetulan aja hari ini ada banyak jajan."

"Yujin, aku nginep ya," pinta Yuna.

"Kamu tahu manfaat rumah?"

"Ih jahat."

.
.

"Yuna tolong jaga rumah, aku nganter Wonyoung pulang dulu," ujar Yujin pada sepupunya. "Kalau mau nginep, terserah dah!"

"Nganter? Kayak pacaran aja," komentar Yuna.

"Ssst!" Yujin buru-buru menarik Wonyoung.

"Iya juga, kenapa kamu selalu nganter aku?" tanya Wonyoung. "Apa jangan-jangan kamu ada perasaan ke aku? Maaf tapi aku masih mau jomblo-"

"Mulai narsisnya!" Yujin menatap geram Wonyoung. "Btw kamu beneran masih mau jomblo?"

"Mungkin."

"Kasian Haruto," ucap Yujin. "Kalau misalnya di tembak gimana?"

"Kayaknya aku tolak. Tapi bisa aja aku minta dia buat nunggu."

"Nunggu? Jadi kamu terima tapi harus nunggu gede dulu? Wah ternyata kamu kayak gini ya!" sifat jahil Yujin keluar.

"Huft gak jadi!" Wonyoung mempercepat langkahnya.

"Tungguin!" Yujin menyusulnya.

"Yujin, kamu bilang kamu pernah nembak Jihoon."

"Iya, habis putus. Aku jadi ada perasaan ke dia," Yujin menunduk. "Tapi rasanya ada yang aneh."

"Oh... maaf aku ungkit lagi."

"Ya gapapa."

Wonyoung dan Yujin hanya diam saja. Sementara itu Sakura, Hitomi dan Nako mengikutinya dari belakang.

"Anak itu cuma ingin teman," simpul Hitomi. "Dia seakan cemburu cinta terhadap sahabatnya, tapi sebenarnya dia cuma ingin akrab dengan lelaki itu."

"Jadi dia iri karena dia buruk dalam hal berteman," ucap Nako. Dia memerhatikan Hitomi.

"Kemampuan sangat tinggi ya," celetuknya pada Hitomi.

"Jarang sekali bertemu dengan orang sepertimu di jaman ini. Tidak seperti dulu, banyak yang membuat kontrak dengan roh. Seperti dukun," ucap Sakura.

"Tapi aku jadi kurang nyaman. Aku jadi tahu bagaimana keadaan hati orang yang mau bicara denganku. Jadi nggak menarik," ucap Hitomi. "Setidaknya kalau ada kalian aku jadi terbantu sedikit."

"Persoalan tentang 'dua belas' yang kamu maksud itu?" tanya Nako.

"Iya. Sepertinya teman iblismu itu juga tahu tentang 'dua belas' ini," Hitomi menatap Sakura.

"Hyewon, ya? Aku harap dia bisa balik lebih cepat."

.
.
.

"Eunbi, jangan bangun dulu! Kamu masih terluka parah."

"Ugh... iya," Eunbi membuka matanya lebar. "Di mana yang lain?"

"Sudah pergi duluan. Ratu sudah kalah dan ditangkap. Omong-omong kita juga tidak bisa pergi dari sini, ada penghalang. Sepertinya karena dua teman kita sudah meninggalkan tempat ini."

"Sihirmu tadi bisa membuka paksa gerbangnya. Apa kamu masih bisa melakukannya?"

"Aku tidak tahu. Aku mencobanya karena terdesak. Kalau misalnya aku bisa meminta bantuan Sakura di sana mungkin bisa bekerja."

"Nanti aku akan memakai sihirku."

"Tapi bagaimana? Berbeda alam, nanti menentang hukum."

"Hmp aku tidak peduli," Eunbi berusaha untuk duduk. "Setidaknya aku ingin mereka kembali, tempat itu tidak sesuai dengan mereka."

"Aku juga maunya begitu."

Eunbi menutup matanya kembali. Chaewon menatapnya.

"Ada sesuatu di wajahku kah?" tanya Eunbi. Ia tahu Chaewon terus memerhatikannya.

"Tidak ada apa-apa. Begini Eunbi, hmm..., apa keinginanmu sekarang ini?"

"Aku ingin pulang dengan kalian. Pertanyaanmu serasa aneh sekali."

"Maaf. Entah kenapa aku kepikiran terus."

"Kalau Chaewon?"

"Aku tidak tahu... Sama sepertimu saja!"

"Hmm? Padahal kamu yang bertanya."

.
.
.

Bersambung

My Protector \\ IZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang