"Apa dia baik-baik saja?" Iris menatap Arga yang baru saja menundukan pantatnya di sofa ruang keluarga mengikuti jejak orangtuanya yang lebih dulu duduk di ruang tamu.
"Ya, dia baik-baik saja." Jawab Arga sambilmenatap Iris.
"Kapan kamu akan membawanya kembali?" Tanya Iris to the point, karna inilah ia menunggu sang anak pulang dari perjalanan jauhnya.
"Bu?" Arga menatap Iris, ia lelah dengan pertanyaan tersebut. Dirinya juga ingin membawanya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia pasti akan langsung di usir begitu menunjukkan wajahnya saat itu juga.
"Sampai kapan kamu akan melihatnya dari jauh seperti sekarang?" Tanya Iris pada putranya yang menurutnya sangat bodoh itu.
"Belum saatnya Bu, dia masih terluka." Jawab Arga sebelum memutuskan tatapannya dari Iris.
"Dia terluka karna kamu Arga, apa kamu gak paham akan hal itu?" Tanya Iris masih dengan menatap Arga yang kini tidak menatapnya lagi.
"Karna Arga paham, makanya Arga menjauh darinya Bu." Jawab Arga dengan suara pelan, untuk pertama kalinya ia menyesal karna dirinya memutuskan balik ke rumah orangtuanya sejak Gwen pergi dari hidupnya.
"Harusnya kamu berjuang, bukan seperti ini. Ibu sekarang paham kenapa Gwen tidak bisa melihat kalau kamu mencintainya, itu karna kamu yang tidak bisa menunjukannya. Gwen tidak akan pernah baik-baik saja, seberusaha apapun kamu menunggu Gwen, dia tidak akan sembuh dari lukanya." Ucap Iris, ia harus mengatakannya. Karna inilah kenyataannya, menantunya tidak akan pernah sembuh dari lukanya. Lukanya terlalu dalam, bahkan sangat dalam.
"Iris?" Arden, pria itu mulai masuk ke dalam pembicaraan anak serta istrinya.
"Apa yang aku ucapkan adalah kenyataan. Kalian mungkin gak paham, perempuan yang kehilangan anaknya tidak akan pernah baik-baik saja. Apalagi di tangan suaminya." Ucap Iris lagi tanpa memperdulikan panggilan suaminya untuk dirinya.
"IRIS?" Panggil Arden lagi dengan suara yang begitu kencang.
"Jujur Ibu masih belum bisa maafkan kamu Arga sebelum Gwen memaafkan kamu. Mungkin Ibu tidak melihat dirinya menangis, tapi Ibu seoarang perempuan. Hati perempuan begitu lembut. Kamu mungkin melihat Gwen tegar, tapi percayalah saat Ibu melihatnya untuk pertama kali, Ibu tahu dia menyimpan banyak luka dan kamu_kamu menambah satu luka lagi dalam hidupnya." Ucap Iris lagi tanpa memeperdulikan Arden kembali.
"IRIS?" Arden kembali meneriaki nama istrinya tersebut, dengan harapan agar istrinya menghentikan ucapannya. Arden paham akan istrinya, tapi saat ini sudah cukup istrinya mengucapkan kalimat yang akan membuat anaknya lebih hancur.
"Kamu juga gak akan paham Mas, aku bicara seperti ini sama anak kamu agar dia paham dan tidak menyakiti hati perempuan lagi. Kamu tidak tahu perasaan seorang Ibu Mas, melihat anaknya melakukan hal yang salah, rasanya aku gagal menjadi Ibu."
"...." Baik Arden maupun Arga keduanya diam, menatap sosok perempuan yang mereka cintai.
"Aku melahirkannya bukan untuk menyakiti hati perempuan. Saat aku tahu ia menghamili anak orang aku rasanya ingin mati Mas. Rasanya aku gagal menjadi seoarang Ibu. Aku berpikir bagaimana aku harus menghadapi perempuan itu? Bagaimana aku harus meminta maaf pada perempuan itu? Bagaimana aku harus bersikap? Kamu gak tahu Mas, karna kamu tidak melahirkannya." Uucap Iris sebelum berdiri dari posisi duduknya dan pergi meninggalkan area ruang keluarga tanpa menoleh sedikitpun pada dua pria yang diam dalam keterkejutannya.
"...." Arden menghembuskan nafasnya, melepaskan kaca mata bacanya, sebelum meletakan tangan kirinya di keningnya yang terasa sangat pusing tersebut.
"...." Sedangkan Arga, pria itu masih diam seribu bahasa. Bagaikan tertampar untuk kesekian kalinya, inilah rasa yang paling menyakiti dirinya.
Arden menatap Arga, pria itu bingung bagaimana ia harus berreaksi. Apa yang dikatakan Istrinya, ia tidak berpikir sampai sejauh itu. Ia marah saat mendengar Arga menghamili Gwen, tapi ia tidak berpikir sejauh Isrinya berpikir. Arden hanya diam, apalagi Arga memutuskan bertanggungjawab. Arden pikir masalahnya selesai, tapi saat ini Arden tidak tahu bagaimana ahkir kisah anaknya tersebut.
"Istirahatlah, besok kita bicarakan masalah ini lagi." Ucap Arden pada ahkirnya.
"Ayah?" Panggil Arga yang membuat Arden kembali mendudukan pantatnya yang sudah terangkat sedikit karna ia akan menyusul Iris.
"Hem?" Ucap Arden setelah melipat kedua tangannya menatap Arga kembali.
"Arga bingung bagaimana Arga harus bertindak. Arga ingin mendekat, tapi Arga tahu dia akan semakin menjauh." Lirih Arga pelan.
"Apa kamu ingin menyerah?" Tanya Arden to the point. Arden tahu sang anak mencintai menantunya tersebut, tapi Arden perlu menyakini dirinya dan Arga sekali lagi.
"Tidak, tapi kalau Arga terus berusaha maka dia akan terluka." Ucap Arga menjawab pertanyaan Arden.
"Jadi mau kamu bagaimana? Menyerah?" Tanya Arden pada Arga.
"...."
"Kamu ingin menceraikannya?" Tanya Arden lagi saat Arga tak kunjung menjawab pertanyaannya sebelumnya.
"Ayah?" Ucap Arga dengan suara pelan miliknya.
"Kalau kamu mencintainya berusahalah. Ayah tetap diam, bukan bearti Ayah mendukung tindakan kamu yang diam-diam melihatnya dari jauh. Ayah ingin kamu menyelesaikan masalah kamu seperti pria dewasa Arga, kamu bukan remaja lagi yang belum bisa menentukan apa yang kamu mau. Kamu sudah menikah, bahkan menjadi seorang Ayah beberapa tahun yang lalu. Apa Ayah salah bicara?"
"Tidak."
"Kalau begitu jangan bingung untuk hal yang seharusnya tidak membingungkan kamu. Kamu mencintainya, maka tunjukan padanya. Ayah tunggu kabar baik dari kamu." Ucap Arden sebelum benar-benar pergi meninggalkan Arga yang masih duduk di ruang tamu.
"Mas maaf ada yang cari." Arga mengangkat kepalanya, melihat perempuan berumur yang berbicara padanya saat ini.
"Siapa?" Tanya Arga dengan suara malasnya.
"Perempuan Mas." Jawab perempuan itu lagi.
"Perempuan?" Tanya Arga, sebelum melihat jam tangannya. Ini jam sebelas lewat, perempuan mana yang datang mencarinya?
"Ia Mas, yang beberapa hari lalu datang cari Mas tapi Mas pergi keluar kota." Jawabnya sebelum ahkirnya Arga bangkit drai posisi duduknya.
"Dia cari saya beberapa hari yang lalu?" Tanya Arga kembali.
"Ia Mas, tapi Ibu uris tamunya Mas." Arga menghembuskan nafasnya, Arga tahu siapa yang diusir Iris. Jelas sekali siapa yang datang, Iris tidak pernah mengusir orang yang datang kerumahnya kecuali perempuan ini.
"Usir saja, saya lagi malas bertemu orang." Ucap Arga.
"Tapi Mas, dianya maksa masuk." Ucap perempuan itu kembali.
"Huff, dimana dia sekarang?" Arga mengalah, dia akan menghadapi tamu yang tidak di undang tersebut. Hanya sebentar.
"Ruang tamu Mas." Ucapnya lagi. Arga menghembuskan nafasnya kembali, ia harus ekstra sabar kali ini.
"Pergilah."
"Baik Mas."
Arga bejalan perlahan, sebelum langkah kakinya berhenti tepat saat melihat perempuan yang kini duduk di kursi ruang tamu orangtuanya.
"Apa yang kamu lakukan disini?" Tanya Arga dengan suara datar, serta tatapan tanpa ekspresi miliknya.
"Menemui kamu." Jawabnya dengan santai.
"Apa kamu masih tidak paham? Aku tidak ingin melihat kamu lagi, jadi keluarlah sebelum satpam di depan akan menarik kamu dengan kasar." Ucap Arga sebelum memutar tubuhnya kembali dan ingin berpaling pergi.
"Kenapa kamu berubah?" Tanyanya lagi.
"...." Arga menghentikan langkahnya, namun pria itu tak kunjung memutar tubuhnya.
"Apa istimewanya Gwen, Ar?" Tanyanya lagi.
"Pergilah!" Ucap Arga lagi.
"Apa istimewanya dia Ar?"
"Dia tidak istimewa, tapi dia lebih baik dari kamu Nel. Dia perempuan yang ingin aku lindung dari kamu." Ucap Arga sebelum benar-benar pergi meninggalakan Nelly, perempuan yang sudah menjadi masa lalunya.
....
Senin, 15 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Say Goodbye (END)
ChickLitGwen, ia ingin mendapatkan kebahagiaannya. Apakah salah jika ia ingin mendapatkannya? Apa salah kalau Gwen harus menyakiti banyak orang demi kebahagiaannya? Kalau ia, maka ingatkan Gwen untuk berhenti walaupun kemungkinan dirinya berhenti hanya seti...