Gwen menutup matanya dengan erat, mengatakan segala permohonannya dalam hati. Ia tidak ingin kehilangan siapapun lagi, termasuk Ayahnya_Raka. Pria itu sudah berubah dan Gwen belum mengucapakan terimakasih dengan benar atas semua yang Raka lakukan untuknya selama ini.
"Tenanglah, Ayah akan baik-baik saja." Arga, pria itu menghembuskan nafasnya berkali-kali. Pikirannya sudah mau pecah saat ini, mendengar mertuanya masuk rumah sakit karna tiba-tiba pingsan tadi pagi dari Nelly. Bagaimana ia mengatakan pada Gwen? Bagaimana ia menenangkan Gwen? Bagaimana ia harus bersikap? Semua Arga pikirkan bahkan ketika duanya sudah sampai di Jakarta.
"...." Gwen hanya diam, ia tidak bisa tenang. Sejuta kali ia menyakinkan dirinya kalau semuanya akan baik-baik saja, maka ratusan juta dirinya ragu kalau semuanya akan baik-baik saja. Pikirannya kacau, sangat kacau seperti puzzel yang berhamburan tanpa terbentuk.
"Gwen?" Panggil Arga lagi saat, ia khawatir. Gwen menangis dari awal Arga mengatakan kalau Raka dirumah sakit. Arga tidak khawatir kalau Gwen menangis dengan suara karna dengan begitu rasa sesak yang ada di dalam hatinya bisa sedikit berkurang, tapi dari beberapa jam yang lalu Gwen menangis tanpa suara dan Arga pernah merasakannya.
Sangat menyakitkan saat kita menahan rasa sesak, menangis tanpa suara membuat rasa sesak tersebut semakin besar.
"...." Gwen masih memilih untuk tetap diam.
Arga menghembuskan nafasnya, sebelum menatap kedepan. "Pak tolong lebih cepat." Ucap Arga pada ahkirnya sebelum pria itu juga diam sambil sesekali melihat Gwen dari ujung matanya.
"Baik Mas." Ucap supir Arga dengan menambah sedikit kecepatan mobilnya.
Dari bandara ke rumah sakit, cukup memakan waktu hampir satu jam. Saat mobil berhenti tepat di depan rumah sakit, Gwen secara otomatis membuka matanya dan turun dari mobil tersebut tanpa menunggu Arga yang ada di belakangnya. Langkah Gwen terlihat cepat, namun percayalah kakinya saat ini terasa sangat lemas dan beberapa kali ia hampir terjatuh.
"UGD? Dimana ruangan UGD?" Tanya Gwen dengan intonasi yang cepat pada suster yang berada didekatnya.
"Aa, belok kiri, lurus saja, nanti di ujung sana ada ruangan UGD." Ucap suster tersebut dan setelahnya Gwen kembali berlari sesuai dengan instruksi yang dikatakan suster tersebut.
Hingga ahkirnya langkah Gwen terhenti, ia melihat dengan jelas ada beberapa orang disana yang terlihat sedang menangis. Gwen merasa sesak pada dadanya, ia berharap, bahkan sangat berharap apa yang ada di dalam pikirannya saat ini bukanlah sesuatu yang akan ia hadapi saat ini. Gwen menyatuhkan jari-jari tangannya, sebelum berjalan pelan kearah yang sedang ia lihat saat ini.
"Apa yang terjadi sama Ayah?" Tanya Gwen yang berhasil menarik perhatian beberapa orang tersebut.
Anissa, perempuan itu menatap Gwen dengan tatapan terkejut sebelum berjalan kearah Gwen dan memeluk Gwen dengan erat. "Gwen, Ayah kamu. Dia tiba-tiba pingsan, Mama takut Gwen. Ma_."
"Bukankah ini yang kamu mau?" Tanya Gwen tegas, sebelum ahkirnya Anissa menjauhkan dirinya dari Gwen dan menatap Gwen dengan tatapan tidak percaya.
"Gw_." Anissa mencoba untuk mengatakan sesuatu namun Gwen menghentikannya.
"Ayah gak pernah seperti ini, karna Ayah sangat menjaga tubuhnya dengan baik. Pasti ada sesuatu yang membuat Ayah pingsan bukan? Apa yang kamu lakukan sama Ayah aku?" Tanya Gwen tidak perduli tatapan Anissa, Nelly, dan beberapa orang yang bekerja dirumah Ayahnya.
"Gwen? Mama gak tahu apapun sa_."
"Ahhhh, beberapa tahun yang lalu kamu juga mengatakan yang sama." Ucap Gwen lagi mengingatkan Anissa yang juga mengakatan kalimat yang sama, saat perempuan itu masuk ke dalam rumahnya, menggantikan posisi Bundanya.
"Gwen, Mama gak tahu apapun. Mama pergi ke depan dan aku menemukan Ayah di taman belakang. Apa bisa tidak menyalahkan Mama?" Nelly yang awalnya hanya melihat Gwen, kini berjalan mendekat kearah Anissa, sebelum memeluk Anissa.
"Apa kamu bisa menjamin kalau bukan Mama kamu yang membuat Ayah seperti ini? Apa kamu bisa menjaminkan nyawa kamu untuk apa yang baru saja kamu katakan?" Dalam seketika Nelly merasa jantungnya berdetak dengan keras.
"...."
"Kamu tahu dengan jelas, bagaimana kejamnya seorang perempuan untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Semua cara ia lakukan, semuanya cara walaupun harus membuat seseoarang mengahkiri hidupnya." Ucap Gwen dengan menatap tajam kearah Nelly sebelum berganti pada Anissa.
"...."
"Kejadian belasan tahun yang lalu dan dua tahun yang lalu mungkin bisa aku tahan tapi kalau yang kali ini membuat Ayah pergi meninggalkan aku jangan harap semuanya akan baik-baik saja. Nyawa akan dibalas dengan nyawa. Penderiataan akan dibalas penderitaan." Ucap Gwen yang tentu saja tertuju pada Anissa.
"Gwen, kamu sudah keteraluan sama Mama." Nelly tidak tahan lagi, ia seorang anak. Seoarang anak tidak akan pernah rela jika Ibunya disudutkan seperti yang dilakukan oleh Gwen.
"Aku?" Tanya Gwen lagi dengan tawa pelan, tawa yang menunjukkan betapa hancurnya dirinya saat ini.
"Gwen, sudahlah. Tenangkan diri kamu, kita bicara diluar." Ucap Arga yang menggapai tangan Gwen. Bukan ia membela Nelly, tapi saat ini Gwen sedang diliputi amarahnya.
"Gak! Aku akan bicara disini." Ucap Gwen menepis menepaskan tangan Arga dari tangannya.
"Gwen, aku mohon. Orang melihat kita, kamu juga harus menenangkan diri kamu." Ucap Arga.
"...." Gwen menatap Arga, menghembuskan nafasnya dengan kasar. Memperlihatkan kalau Gwen yang ada di depan Arga saat ini adalah Gwen yang sudah diambang kehancuran. Hanya dengan amarah, dengan kata-kata kasar seperti ini Gwen bisa mengurangi rasa sesak yang menghancurkannya saat ini.
"Gwen?" Lirih Arga pelan.
"Mama tidak melakukan apapun sama Ayah, Mama tidak akan melakukannya." Ucap Nelly lagi yang membuat Gwen menatap Nelly kembali dengan tatapan benci.
"Dua nyawa sudah ia bunuh, satu lagi tidak masalah baginya untuk mendapatkan apa yang ia mau atau mungkin niatnya adalah membunuh empat nyama. Iakan Ma?" Anissa membuka mulutnya sedikit, dari raut wajahnya bisa ditebak Anissa terkejut dengan perkataan anak tirinya tersebut.
"...."
"Selingkuh dengan Ayah, melahirkan seoarang anak padahal tahu kalau Ayah sudah memiliki keluarga, menunjukkan dirinya di depan Bunda dan mengatakan punya anak dari Ayah, meminta Bunda melepaskan Ayah, itu pembunuhan pertama yang Mama lakukan. Lalu, pembunuhan kedua yang Mama lakukan dua tahun yang lalu. Membunuh anak yang bahkan belum lahir, agar anak kesayangan Mama bisa mendapatkan pria yang dicintai." Ucap Gwen lagi dan lagi.
"...."
"Apa ini akan menjadi pembunuhan ketiga Mama, untuk menyingkirkan Ayah dan selanjutnya adalah diriku? Iakan Ma?" Tanya Gwen lagi dengan tiada hentinya mengatakan kalimat yang mneyudutkan Anissa yang kini sudah terdiam.
"Gwen, ayolah." Ucap Arga yang kembali meraih tangan Gwen dan membimbing perempuan tersebut agar mengikutinya tanpa perduli dengan teriakan dibelakangnya yang meminta tolong karna Anissa baru saja pingsan.
Arga menghentikan langkanya ditaman rumah sakit yang sepi, memutar tubuhnya agar bisa menatap Gwen yang berjalan di belakangnya. "Menangislah."
"...." Gwen menatap Arga dengan tatapan kosong. Arga tidak tahu, sejak kapan Gwen menghentikan tangaisannya. Apa saat perempuan itu turun dari mobil? Atau saat perempuan itu sudah berneti di UGD? Arga tidak tahu. Arga hanya ingin Gwen menangis dengan suara, karna hanya itu yang bisa Arga lakukan saat ini.
"Tidak pa-pa menangislah. Itu tidak menjadikan kamu lemah, justru kamu menangis karna sudah menjadi kuat." Arga pria itu menarik Gwen ke dalam pelukannya dan seketika Gwen menangis dalam pelukan Arga. Arga kembali menghembuskan nafasnya dengan berat, menepuk pelan pundak Gwen dengan lembut.
Pernah mendengar menangis adalah cara untuk mengurangi kesedihan, kekecewa, dan marah? Inilah cara yang coba Arga lakukan untuk membantu Gwen. Membiarkan Gwen menangis di dalam pelukannya.
....
Minggu, 28 juni 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Say Goodbye (END)
ChickLitGwen, ia ingin mendapatkan kebahagiaannya. Apakah salah jika ia ingin mendapatkannya? Apa salah kalau Gwen harus menyakiti banyak orang demi kebahagiaannya? Kalau ia, maka ingatkan Gwen untuk berhenti walaupun kemungkinan dirinya berhenti hanya seti...