Masih Rumpang
Demi waktu, melupa adalah suatu upaya yang sia sia.
Tangis masih merapal kecewa.
Nafas masih menghembuskan lelah.
Maka aku melukis gundah lewat sajak yang berwarna rima.Mulut masih senantiasa bungkam, tercekik kenyataan, hidupku yang jauh dari sempurna.
Seumpama bulan dapat bersenandung dan bintang dapat merayu, aku mungkin tak kesepian.
Sebab aku terperangkap nyanyianmu, juga aku terpenjara dalam candamu.
Dan aku masih belum bisa lupa, soal tangismu yang kau tumpahkan tepat di bahuku.Kau pernah bersandar, pun aku pernah mendengar dengan sabar.
Kau pernah meluangkan waktu untukku, hingga kini, kau menyapaku saat tiba waktu yang longgar.
Aku hanya menjadi pengisi sepi, bukan lagi menjadi pengisi hati.
Langkahku masih di tempat yang sama, memijak tanah patah hati.Aku masih hapal cerita lamamu, seperti sebuah melodi yang mistis, suaramu waktu itu masih terngiang di kepalaku.
Nalarku seolah terpelintir, kau semakin jelita selepas tidak bersamaku.
Aku melukis wajahmu pada bait bait puisi yang kubaca di depan purnama.
Rembulan memang tiada lebih menggoda dari parasmu, namun tiada kabar yang membenarkan, bahwa, rembulan pernah mencetak luka.Di dalam kepala yang kosong, tertuang keluhan dan sumpah serapah.
Aku sudah lelah.
Terus menerus berusaha memperbaiki puisi puisi yang tidak pernah sempurna.
Mengisi bait dengan torehan luka, dari goresan kecewa, dan rima serta majas yang masih begitu begitu saja.
Sebab aku masih diam, tetap berdiri pada luka yang sama: kepergianmu yang tiba tiba.Dan sampai sajak ini tertulis, kau masih menjadi jelita yang apatis.
Dan, saat sajak ini selesai tertulis, semua puisiku masih rumpang, dan mungkin akan tetap rumpang.
Karena, semua tidak lengkap tanpa kehadiranmu disini.Iniipy
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Roman Remaja
PoetryKarena asmara kaum remaja tak pernah berakhir pada satu warna.