Takikardia
Lepas sore ini, tepat saat hujan reda, aku kembali diguyur rindu teramat deras.
Pada sosokmu, yang hilang setelah pesan terakhirku tak lagi kau balas.
Aku terbenam pada aroma kopi sederhana buatan sendiri.
Tenggelam dalam getir yang menusuk jati diri.
Irama jantungku kian berantakan, gelisah, rindu, khawatir tercampur rata pada wadah nurani membentuk tirani.Aku, atau bahkan kita semua sama kan?
Selalu berkobar di bawah panji patah hati.
Menanti, menunggu sosok yang pasti.
Berharap hanya dia, dia atau tidak samasekali.
Kita selalu bernegosiasi setelah ibadah, meminta yang terbaik sambil terus memaksa agar keinginan kita terjadi.
Dan lagi, kita selalu menegaskan, dia, dia lagi, dia sekali lagi, dia atau tidak sama sekali!Lalu, pada kepergianmu yang belum lama.
Aku menggambar indah nirwana tanpa warna, dunia dan seisinya yang tak lagi ada indah indahnya.
Hariku runyam, muram dan suram.
Sosokmu menyisakan fosil fosil kenangan, tentang kebahagiaan dan pula kesedihan yang pernah kita bagi secara presisi.
Perihal pergimu dan keadaanku, aku tengah mencoba memaksakan diri untuk ikhlas, bertabah dan berusaha tertawa lagi.Sekarang, pada titik jenuh tertinggi, aku benar benar tenggelam pada gelisah.
Ingin rasanya memberi pesan dan bertanya bagaimana keadaanmu.
Hanya ingin memastikan bahwa setengah nyawaku tak terancam dan aman aman saja.
Ya, setengah nyawaku tak sengaja ikut pada senyummu, sejak setengah tahun yang lalu.
Tepat saat senyummu merangkul sedihku, dan wajah ceriamu memeluk sepiku.
Tepat saat itu aku tidak sengaja jatuh cinta, rindu, dan kagum padamu.
Tepat saat itu pula, kamulah landasan sajakku.Kulihat kau semakin sejahtera.
Ya, semoga saja.
Dan semoga segala gelisahku hanya sia sia.
Jujur, aku hanya tak suka melihatmu terluka.
Baik baiklah disana, di luar pelukan dan peduliku.Iniipy
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Roman Remaja
PoetryKarena asmara kaum remaja tak pernah berakhir pada satu warna.