Memeluk Kelam
Biar embun menepi dan berlabuh, di tembok tembok yang kau hinggapi.
Berbagilah, berceritalah, santailah, dan resapi kehadiran sebelum kepergian.
Seperti layaknya aku, menghargai setiap sosok yang datang, meskipun hanya sebagai kawan kesepian.
Embun tetap menguap diculik cahaya mentari, dan senyumku hilang tersapu alasanmu yang memutuskan pergi.Tatkala masam menjadi hujan.
Deras, membasahi nurani yang telanjang tanpa sehelai sayang yang mendekap.
Atau saat tragedi menjadi kawan, yang datang dan mengisi setiap waktu.
Disitulah aku, sendiri dan hampir terbunuh, memeluk masa kelam, tenggelam terseret waktu.Aku manusia, aku berhak untuk benci, aku berhak untuk cinta, dan aku berhak merindukanmu.
Jawabanmupun singkat, “akupun punya hak untuk menampikmu"Seperti langit beserta bumi datang padaku, memberi salam kemudian berlanjut merajam.
Hidupku cemar, busuk di tengah pagi buta, mimpi dan khayalan tertelan kalut yang mendalam.
Mungkin, kamu adalah liang kuburku, semakin dalam aku mencintaimu semakin aku rekat dengan ajal.
Semakin aku ingin memelukmu, aku semakin terkapar tiada daya, tertimbun dalam juangku yang darah.Aku sedang beku, tersiram sikapmu yang dingin bagai kutub bersalju.
Aku tak mampu melangkah, aku terjebak dalam kasmaran denganmu.
Meski padaku, kau mewujud arca, diam, seperti pagoda, meski diam kau tetap ku puja puja.
Aku memeluk kelam, menekuk malam, tidur dalam bayangmu, mimpi indahlah, seindah wajahmu yang tak kunjung mampu aku jamah.Maka disinilah aku, menulis sajak sebagai jejak.
Saksi bisu yang berisyarat, cintaku padamu belumlah habis, meski puluhan lembar kata habis tercetak.
Dan inilah aku, merantai hati dengan setia menitip lara, menyangkutkan angan pada sosok yang mustahil kudapatkan.
Juangku selayaknya menggarami samudra, sia sia, tidak berguna.
“Matilah! Makanlah angan dan tertawalah! Mimpimu kali ini pantas kau tertawakan!” teriak logika yang telah cidera.Dan, kelam masih erat kupeluk, begitupun namamu, masih awet meremukkan liang nadiku.
Dan mataku sudah tunduk oleh kantuk, malam semakin suntuk, aku beranjak tidur, maaf, aku memimpikanmu lagi.Iniipy
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Roman Remaja
PoetryKarena asmara kaum remaja tak pernah berakhir pada satu warna.