°Bab 26°

246 17 3
                                    

Mungkin ini adalah akhir hidupku.

~Tasha

...

Tasha memasuki kelas dengan santai dan merasa tidak mempunyai beban setelah dirinya mengungkapkan isi hatinya pada Daniel. Mereka sudah berbaikan dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan masing-masing lagi. Tetapi, keadaan kelas hari ini sedang tidak berbaik hati dengan Tasha.

“Sha, lo kuat ‘kan?” tanya Gita sambil mengeluarkan air matanya.

“Apa sih?” Tasha menuju kursinya. Belum sempat ia duduk, Rie sudah memeluknya terlebih dahulu.

Tasha merasakan bahunya lama kelamaan basah. Ditolehnya semua anak yang berada di kelas ini. Matanya mengisyaratkan kekhawatiran dan menanyakan ‘ada apa ini?’

“Gue ta … tau lo i … itu ku … kua … kuat, Sh … Sha,” ucap Rie yang masih terisak dalam pelukan Tasha. “Gue harap lo nggak kec … cewa dan han … hancu … cur.”

Tasha mengendurkan pelukannya, bahkan melepas pelukannya pada Rie. “Ini ada apa sih?! Gue nggak tau kalo kalian nggak bilang!”

Rie memegang kedua tangan Tasha dan meletakkannya di dadanya kemudian ia berucap, “Dan … Daniel ….”

“Apa?!”

“Dia ngehamilin R – “

“Cukup!”

Tasha berlari menjauhi kelas menuju tempat yang bisa digunakan untuk bersembunyi. Rie dan Jia langsung mengejarnya walau keduanya masih berderai air mata. Mereka tak mau ada apa-apa dengan sahabatnya.

“Sha, tolong! Jawab kita, lo dimana?!” teriak Rie mencari keberadaan Tasha yang sudah tak terlihat oleh mereka.

“Sha, jangan ngilang!” sahut Jia. “Gue tau perasaan lo, tapi jangan kaya gini!”

Rie semakin menangis ketika tak bisa menemuka keberadaan Tasha. Ia tak mau kehilangan dua orang sekaligus yang sangat berarti dalam kehidupannya. “Sha, jawab gue.”

Tiba-tiba saat mereka berdua masih mencari Tasha. Ridho datang tergopoh-gopoh. “Bu Hayn udah dateng. Lo ngg--“

“Kita mau nyari Tasha. Kalo lo dateng cuma mau nyuruh kita balik ke kelas mending lo pergi!” sarkas Rie.

Ridho langsung beringsut, ia ingat bagaimana terakhir Rie marah padanya. Ia kembali ke kelas dengan tangan kosong tanpa membawa tiga orang yang seharusnya dibawa.

“Rie! Ji! Tol ….”

“Tasha!” Rie dan Jia langsung berlari ke sumber suara.

Di sana tampak Tasha yang tersungkur di bawah. Rie mengguncangkan tubuh Tasha, tak ada jawaban. Ia pingsan. Ria menggeram marah hendak mengambil handphone-nya dan menelepon bundanya Tasha. Tetap tangannya dicekal oleh Jia.

“Kita bawa dia ke UKS aja,” ucap Jia sambil berusaha mengangkat tubuh Tasha.

Mereka berdua membaringkan tubuh lemah Tasha ke salah satu ranjang di UKS. Rie memgang salah satu telapak tangan Tasha dan duduk di samping Tasha. Jia hanya bisa mengeluarkan air matanya melihat kondisi Tasha sekarang.

“Sha, bangun. Gue bakal jelasin sem ... semuanya,” ucap Rie seraya menundukkan kepalanya.

Tiba-tiba Bu Hayn datang tanpa permisi dan langsung mengecek suhu tubuh Tasha dengan punggung tangannya. “Dia pingsan?”

Rie hanya bisa mengangguk lemah sebagai jawabannya. Ia sudah tak kuasa untuk berbicara. Semalam ia merasakan hal yang sama dengan hari ini. Ia ingat bagaimana reaksi ayah angkatnya ketika orang tua Retno meminta pertanggung jawaban. Hancur.

Rie mengangkat kepalanya ketika merasakan pergerakan di tangannya. “Sha, gue Rie.”

Tasha memaksa mendudukkan tubuhnya walau ia masih dalam keadaan lemah. “Gue mau duduk.”

Mau tidak mau Rie dan Jia membantu Tasha duduk bersandar di sandaran ranjang. Tasha menatap Bu Hayn yang sekarang ada di antara mereka bertiga.

“Kenapa Bu Hayn disini?” tanya Tasha
.
“Memastikan keadaan kamu saja,” jawab Bu Hayn yang ikut meneteskan air matanya mendengar murid kebanggaannya seperti itu.

Tasha tersenyum kaku. “Saya baik-baik saja kok, Bu.”

“Lo itu, jangan bilang baik-baik saja kalau nyatanya kamu sedang tidak baik-baik saja,” sengit Rie ketika mendengar kata-kata yang familiar di telinganya.

Bu Hayn melangkah keluar meninggalkan mereka bertiga di ruang UKS ini. Dirinya juga merasakan apa yang dirasakan Tasha. Mendengar kabar ini adalah pengalaman terburuknya.

“Coba ceritain semua dari awal sampai akhir,” tuntut Tasha.

Jia hanya mengendikkan bahunya ketika Rie menatapnya bingung. Kemudian Jia mengucapkan, “Ceritain aja.” Tanpa suara.

Rie mengangguk dan menahan air matanya yang memaksa keluar. “Bentar, Sha.”

“Gue harap kalian bilang kalau ini cuma prank, hehe.”

Tumpahlah air mata yang ditahan Rie, ia tak kuasa jika disuruh menceritakan semuanya pada Tasha. Apalagi di lingkungan sekolah seperti ini. Saat ia hendak membuka suaranya, suara sepatu memenuhi telinganya.

“Sifa?” cengo Jia dan Rie bersamaan ketika melihat sosok yang dibopong beberapa anak lelaki.

“Dia kenapa, Fi?” tanya Tasha.

Sofi mengeluarkan air matanya juga melihat Tasha yang duduk di ranjang UKS, walau sebelumnya ia sudah menangisi kembarannya, Sifa.

“Dia pingsan saat denger kabar,” ucap Sofi.

Jia beranjak mendekati Sofi. Kemudian ia berbisik, “Retno masuk ya?”

“Iy--“

“Lo kenapa kesini, hah?!” teriak Tasha ketika mengetahui seseorang yang memasuki ruang UKS.

Daniel berjalan mendekati ranjang Tasha. Rie mundur untuk memberinya jalan. Tasha hendak berdiri menjauhi Daniel. Tetapi, Rie mencekalnya untuk tetap di situ saja.

“Gue min ... minta ma--“

“Sifa!” teriakan Retno menggemparkan ruangan ini. Seketika mata Tasha langsung berkilat marah.

Rie dan Jia langsung menariknya saat Tasha hendak berjalan ke arah Retno. Tak lupa Daniel juga ikut mencekalnya. Kepala Tasha beralih menatap Daniel yang tangannya masih mencekal tangan Tasha.

“Gue nggak mau dipegang sama anak anj*ng. Pergi lo!” sengit Tasha.

Tbc gaiseee, luv🔥

PELANGI MALAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang