°Bab 51°

206 15 3
                                    

“Siapa yang nangis?” tolak Tasha. Ia menguraikan pelukannya dan menatap manik mata Arsya dengan sendu. “Semoga kita bisa ldr-an ya,” lanjutnya.

Arsya tersenyum penuh arti kemudian menjawab, “Iya, pasti.”

Malam ini adalah malam terberat bagi Tasha. Merelakan seseorang yang berarti meninggalkannya. Meski mereka akan bertemu lagi, tidak semudah saat mereka masih bertetangga. Sangat sulit rasanya merelakan sosok Arsya bagi Tasha.

“Bel, aku berangkat dulu ya,” pamit Arsya seraya melambaikan tangannya haru. Ia sudah berada di dalam mobil. Jujur saja, memang berat rasanya.

“Iya, daah, hati-hati,” ucap Tasha dan membalas lambaian tangan Arsya.

Tasha tidak mau berakting seperti sinetron yang ditinggal suaminya pergi. Ia cukup melambaikan tangan dan melihat mobil Pak Gun hilang termakan jalanan malam. Bahkan ia belum menurunkan lambaiannya sebelum Bunda mengajaknya pulang.

“Kan masih bisa telepon, Sha,” bujuk Bunda dan menarik lengan Tasha untuk pulang meninggalkan rumah Arsya.

“Beda, Bun,” sahut Tasha dan mengikuti langkah kaki Bunda menuju rumah.

Keesokannya Tasha berangkat diantar Ayah yang sekaligus berangkat bekerja. Kebiasaan seminggu lalu masih tertanam jauh di pikiran Tasha. Mungkin, beberapa hari ini Tasha harus menyesuaikan dengan keadaan sekarang.

Sesampainya di gerbang sekolah, Tasha berjalan gontai menuju koridor depan. Belum sempat ia menghilangkan bayangan Arsya, beberapa siswa menanyakan keberadaan sosok Arsya yang biasanya membuat onar.

“Iya, dia pindah,” jawab Tasha acuh.

Saat ia memasuki kelas, ia merasa seperti artis yang dimintai wawancara. Hampir seisi kelas mengerubunginya, meminta penjelasan tentang Arsya. Tasha sudah muak dengan sifat kepo teman sekelasnya.

“Emang urusannya sama kalian semua apa?!” bentak Tasha. “Nggak usah ikut campur kehidupan gue bisa nggak?”

Satu persatu dari mereka mundur perlahan, kembali ke bangkunya masing-masing. Saat Tasha sampai di bangku yang biasanya ia duduki, keempat sahabatnya juga melakukan hal yang sama dengan yang lainnya tadi.

“Gue capek,” putus Tasha sebelum mereka membuka pembicaraan. Bahkan Tasha hendak pindah bangku. Untung saja Rie menghentikan niatnya.

Saat istirahat tiba, Tasha seperti biasanya berjalan menuju kantin dengan keempat sahabatnya. Belum sempat ia duduk di salah satu kursi kantin, pertanyaan dari kakak kelas yang pansos mulai terngiang-ngiang di telinganya.

“Eh, jomlo lagi, Neng?”

“Aduh, ada yang ldr-an nih.”

“Ati-ati nant---“

“MAKASIH!” bentak Tasha dan melewati kumpulan kakak kelas dengan gaya jijik. Ia berlalu menuju kelas dengan perasaan terluka. Meski ia berani menjawab seperti tadi, ia juga tak urung merasakan kesedihan.

Rie dan Jia membuntuti Tasha yang sedang berjalan menuju kelas. Mereka berdualah yang berperan penting supaya Tasha tidak menjadi orang yang suka balas dendam. Mereka akan berupaya sepenuh hati dan membujuk Tasha, seperti saat ini.

“Sha, jangan dimasukin ke hati ya,” bujuk Rie.

“Enggak kok,” jawab Tasha sambil menggelengkan kepalanya.

Jia hanya bisa mengelus pucuk kepala Tasha. Ia tidak berani berkomentar seperti Rie, yang ada nanti Tasha malah mengamuk padanya. “Semangat, Sha.”

Saat pulang sekolah, Tasha merasakan hawa kesepian yang menerpa dirinya. Biasanya, ia akan berboncengan dengan Arsya. Tetapi sekarang? Ia harus menunggu angkutan kota atau bis di halte sekolah.

PELANGI MALAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang