°Bab 33°

218 24 0
                                    

Selamat membacaa. Jangan lupa klik votenya yess.

...

Tasha merebahkan tubuhnya ke kasur kesayangannya. Ia menjadi bingung sekarang, masa iya dirinya akan membiarkan perasaan Varo menerobos masuk sedangkan dirinya belum mengenal Varo lebih dalam?

"Gue mau deketin Varo aja," celetuk Tasha tanpa mengalihkan pandangannya dari langit-langit kamarnya. Seketika ia tersadar kemudian berucap, "Eh, cewek macam apa gue ini. Masa mau deketin cowok. No, no! Udah biarin aja."

Keesokannya, saat Tasha masih sarapan bersama kakaknya. Seseorang mengetuk pintu rumah orang tuanya. Tasha mendecak kemudian melirik ke arah kakaknya yang menyuruh dirinya untuk membuka pintu.

Tasha mencebik sebal, ia berjalan menuju pintu utama kemudian membukanya. "Siapa?"

Muncullah seseorang yang kemarin menyatakan perasaannya pada Tasha. Melihat seseorang yang belum ingin dipandangnya, tangan Tasha terulur untuk menutup pintu. Tetapi pintu tersebut dicekal oleh Bunda dari belakang Tasha.

"Masuk, Nak." Bunda melirik Tasha dengan tajam. Taaha melewati Bunda menuju meja makan untuk melanjutkan sarapannya.

"Siapa, Sha?" tanya Kak Tiara seraya mengintip dari balik buffet besar.

"Tuyul." Tasha mengacuhkan Kak Tiara yang memicingkan matanya.

Tasha menatap Kak Tiara dengan tatapan memohon. "Kak, gue bareng ya?"

Kak Tiara menggeleng pasti. "Nein."

Setelah mendengar dan meresapi satu kata yang diucapkan Kak Tiara, Tasha mendecak sebal. Biarlah kali ini dirinya berangkat bersama Varo. Ia keluar menuju ruang tamu dan menyalami Bunda.

"Lo mau nganter gue, 'kan?" tanya Tasha.

Vari berusaha tersenyum semaksimal mungkin. "Iya." Ia beranjak dari kursi sofa dan berpamitan pada Bunda. "Permisi, Te."

Bunda mengangguk. Kemudian kepalanya menoleh kepada Tasha setelah Varo keluar. "Dia kayanya baik, Sha."

Tasha mendecak. "Kayanya."

Setelah mengucapkan selamat tinggal, Tasha berjalan mendekati Varo yang sudah menaiki motornya. Ia menaiki kursi penumpanh tanpa aba-aba. Alhasil, jika Varo tidak segera menyeimbangkan motornya, mereka berdua akan terjatuh.

"Lo nggak pake helm, Sha?" tanya Varo sebelum melajukan motornya.

Tasha terkekeh. "Enggak, nanti lewat jalan dalam ya?"

Varo tersenyum dan menatap Tasha lewat kaca spionnya. "Iya."

Mereka berdua berangkat ke sekolah bersama. Sesekali kepala Tasha terantuk helm Varo gara-gara jalan yang mereka lewati. Varo yakin setelah masa pendekatan selama dua hari, Tasha akan jatuh dalam pesonanya.

Sesampainya di gerbang sekolah, Tasha pamit untuk jalan terlebih dulu setelah melihat Rie turun dari mobil. Varo hanya bisa mengiyakannya, pulang sekolah nanti, ia akan mengajak Tasha keluar lagi.

"Anak setan!" panggil Tasha. Rie yang mendengar suara khas sahabatnya langsing menoleh, yah walau panggilan itu sangat 'istimewa' bagi Rie.

"Apa sih, Set?" tanya Rie. Tangan kirinya terulur untuk merangkul pundak Tasha. Tasha tidak menjawab satu patah kata pun. Mereka berdua berjalan menuju kelas diselingi candaan yang sangat receh.

Senyum Tasha mengembang setelah melihat ketiga sahabatnya sudah duduk menunggu kedatangannya. Ia duduk bersama Rie. Di depannya ada Jia dan Fadil. Kemudian di belakangnya ada Ridho dan Bagus.

"Gue nanti mau jalan sama Varo lagi," ucap Tasha. Ia berpikir jika lama kelamaan ia juga berharap jika dirinya dan Varo bisa berpacaran.

"Nggakpapa, gue dukung. Semua yang bikin lo seneng, gue dukung," putus Rie. Dirinya sudah lelah menghadapi Tasha yang keras kepala. Walau ia berpendapat, Tasha tetap memilih pendapatnya sendiri.

Setelah melewati penjajahan yang cukup lama, masa kemerdekaan pun datang. Apalagi jika bukan pulang sekolah? Semua murid berhamburan keluar kelas karena sudah muak menatap papan tulis yang menjadi makanan setiap hari.

"Gue juga mau 'kencan' sama Ridho," bisik Rie.

Tasha terkejut, matanya membulat sempurna. Ia tak percaya jika omongannya waktu itu menjadi nyata. Setelah ini, hanya dirinyalah yang sendiri. Eh, ada Varo.

"Yuk, Sha." Kali ini Varo mengajak Tasha ke Taman Kota. Ia mengajak Tasha untuk melihat ornamen yang sangat disukainya saat kecil. Apalagi jika bukan air mancur.

Tasha berjalan mendekati kolam ikan. Ia menaburkan makanan ikan yang dibelinya tadi. Tampak beberapa ikan berebut memakannya. Tasha terkekeh kecil melihatnya. Andai saja ia memiliki ikan cupang sebanyak ini, pasti dirinya tidak akan tidur dan tetap menunggu ikan-ikannya.

"Lo mau ikan?" tawar Varo. Tasha menolehkan kepalanya. Ia mengangguk dengan mata yang berbinar-binar.

Varo membelikan Tasha ikan cupang berwarna merah keunguan. Ikan tersebut langsung Tasha terima dengan senang hati. Tak masalah warnanya, yang penting ikan cupang.

"Beli bakso kuy," ajak Varo. Tasha mengiyakannya dan membuntuti langkahan kaki Varo.

Tasha duduk di kursi seberang Varo. Matanya tak henti-henti melihat ikan cupang di sampingnya. Matanya menandakan jika ia sedang bahagia. Sampai ia lupa dengan bakso di depannya.

"Baksonya keburu dingin," ujar Varo. "Gue suapin mau?"

Anggukan dari kepala Tasha membuat Varo mengambil alih mangkuk milik Tasha. Ia memotong beberapa bakso besar untuk disuapkannya pada Tasha. Dengan senang hati Tasha menerima suapan dari Varo.


A/n
Nein : Tidak, dalam bahasa Jerman.
Tbc yess, siapa yang nge-ship Varo sama Tasha? Komenn

PELANGI MALAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang