°Bab 48°

130 13 2
                                    

Selamat membaca para siders. Jangan lupa vote yaa.

...

"Dasar lu! Apa yang ga mau," ucap Jia seraya menjitak kepala Rie dari belakang.

Dengan cekatan Tasha menampik tangan Jia kemudian berkata, "Heh, pacar orang!"

"Ngrusak special moment gue aja lo berdua!" sergah Rue mulai panas telinganya.

Mereka berlima hanya bisa cengengesan setelah mendengar selorohan yang dilontarkan sosok yang paling rapuh diantara mereka berlima. Tiba-tiba saat mereka berjalan beriringan menuju kelas, ponsel Tasha berbunyi menampilkan nama 'Bunda' di sana.

"Halo, apa, Bun?" tanya Tasha kepada bundanya.

[Nanti kamu pulang bareng Arsya ya]

Raut muka Tasha langsung berubah. "Emangnya ga ada yang jemput? Sampe disuruh pulang sama tetangga?"

[Ga ada]

Belum sempat Tasha berprotes lagi, sambungan telepon sudah diputuskan secara sepihak oleh Bunda. Tasha menghela napasnya malas, ia tau sendiri jika Arsya, tetangganya, adalah cowok yang ganteng. Gimana dia nanti kalau baper?

"Arsya anak IPS kan, Sha?" tebak Fadil. Tasha hanya mengangguk lemah.

Karena hari ini classmeet belum selesai, anak-anak diperbolehkan untuk pulang sekolah sebelum jam pulang berbunyi. Tasha hanya bisa memeluk helmnya di halte sekolah seraya menunggu sosok Arsya itu datang.

"Abel!"

Tasha spontan mendongak mendengar panggilan kecilnya dulu. Sudah ia yakini itu adalah Arsya. Ia mendapati manik mata berwarna hitam pekat yang tengah menatap dirinya. Langsung saja Tasha dibuat salah tingkah hanya karena ditatap cowok tampan di depannya.

"Jadi pulang nggak?" tanya Arsya.

"Ya jadilah," sergah Tasha. "Ayo!"

"Buru-buru amat, Neng," canda Arsya kemudian berjalan mengikuti Tasha ke motornya.

Tasha langsung duduk di kursi penumpang tanpa bicara, ia tahu jika Arsya diajak bicara, maka topik pembicaraannya tidak akan habis. Seperti cinta Tasha padanya, ea.

"Gue mau ngisi bensin dulu," ucap Arsya ketika mereka berhenti di lampu merah. Diamnya Tasha adalah jawaban iya menurut Arsya. Ia membelokkan stirnya menuju pom bensin dan kengantre sesuai bahan bakar yang ia inginkan.

"Tunggu aja di sana," ucap Arsya sambil menunjuk bangku kayu di dekat pintu keluar. Tasha langsung berjalan menuju bangku tersebut dan duduk di sana.

Tasha menoleh ke sumber bau cilok di sampingnya. Rupanya ada bapak-bapak yang berjualan cilok di sana. Tanpa aba-aba Tasha langsing merogoh sakunya dan membeli cilok tersebut. Tak lupa ia membelikan Arsya sebagai tanda terimakasih.

"Makasih ya, Pak."

"Sama-sama, Neng," ucap bapak itu.

"Bel, ayo," panggil Arsya yang entah sejak kapan sudah di depan Tasha.

Tasha segera naik ke boncengan dan menyodorkan satu plastik cilok untuk Arsya.

"Buat gue?" tanya Arsya. Tasha mengangguk kemudian mengembalikan tangannya ke tengah. "Makasih," lanjut Arsya.

Arsya segera mengantarkan anak orang ke rumahnya dengan selamat. Jika ditanya apakah ia menyukai Tasha, jawabannya adalah iya. Karena sejak kecil mereka sudah tumbuh bersama dalam suatu lingkungan yang sama. Tidak mungkin jika Arsya tidak jatuh cinta dengan tetangganya itu.

"Gue pulang ya," pamit Arsya.

"Iya, makasih tumpangannya," ucap Tasha kemudian melambaikan tangannya.

"Bel, gue makin suka sama lo," batin Arsya seraya tersenyum tanpa sepengetahuan Tasha. Ia segera melajukan motornya ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah Tasha.

Akhir-akhir ini Tasha mempunyai pekerjaan tambahan, yaitu memberi makan anak-anaknya. Siapa lagi jika bukan ikan cupang? Sampai saat ini semua ikan cupangnya masih hidup dengan kondisi sehat wal afiat.

Belum sempat ia merebahkan diri setelah sholat, notifikasi pesan masuk dari ponselnya berbunyi. Membuat Tasha menunda rebahannya. Tasha memutar bola matanya malas seraya mendecak ketika membaca pesan daru nomor tidak dikenal yang memintanya untuk menyimpan nomor.

"Arsya? Oalah, anaknya Pak Gun ya?" tanya Tasha ketika ia memanggil nomor tersebut.

[Yang lo inget malah bapak gue, Bel. Simpen ya.]

"Yoi," ucap Tasha kemudian mematikan sambungan telepon. Jika disuruh menghafal nama, Tasha memang paling mudah menghafal nama orang tuanya. Yang biasanya dipakai untuk bahan ejekan. Siapa yang satu golongan dengan Tasha? Ngaku!

Rutinitas malam Tasha berputar seperti biasa. Hanya belajar, makan malam, belajar, dan streaming drama korea. Ya, hanya seputar itu-itu saja. Sampai ia berpikir jika sangat monoton sekali hidupnya.

Keesokannya Tasha terlambat bangun gara-gara ia terlalu santai. Siapa lagi jika bukan datang bulan yang digunakan sebagai alasan Tasha. Memang, semua di dunia ini saling menyalahkan tanpa sebab yang jelas.

"Kamu bareng Arsya lagi ya, Bunda mau nyuci baju," perinta Bunda.

Tasha mencebik. "Mesti kan? Yang dikorbanin anak sendiri."

Meski dengan cebikan dan decakan segala macam, ia tetap mau diantar ke sekolah bersama Arsya. Dengan alasan ia tidak tahu harus berangkat dengan siapa. Kak Tiara masih ngorok, Ayah malah berangkat ketika Tasha baru saja minta diantar.

"Jangan cemberut dong, Bel," ujar Arsya dari depan. "Sumpek gue liatnya, suer," lanjutnya.

Bibir Tasha semakin mengerucut mendengar celotehan pagi ala Arsya yang dari dulu pasti mengejeknya. Entah karena bedak yang Tasha pakai terlalu tebal, tidak memakai tali rambut, bahkan masalah bibir cemberut seperti saat ini.

"Diem lo, Gun!" sergah Tasha.

"Heh, lo nyebut bapak gua, nggak sopan lo!"

"Biarin aja," cibir Tasha.

Tak lama kemudian, mereka sampai di gerbang sekolah. Tanpa berucap terima kasih Tasha langsung ngibrit menuju kelasnya. Ia sengaja meninggalkan Arsya, karena jika ia nanti berjalan bersama cecunguk itu, daratan akan terbelah.

"Cie, dianter sama tet---"

"Capek gue, shht!" potong Tasha kemudian duduk di tempatnya. Ia menoleh keheranan ke arah Rie yang tetap duduk bersamanya. "Lo nggak duduk bareng mas pacar?"

"Lo mau sendiri?" tanya Rie.

Spontan, Tasha menggelengkan kepalanya seraya terkekeh. Ia memang malas untuk duduk bersama orang lain, selain Rie. Sudah bawaan.

A/n :
Heyyo para siders, aku sayang kalian. Meski kalian ngga vote aku tetep sayang sama kalian. Tapi, usahain vote ya, buat apresiasi. Tapi kalau kalian ngga mau juga gapapa kok, aku ngga maksa. Sampai ketemu di bab selanjutnya:)

PELANGI MALAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang