°Bab 37°

167 13 3
                                    

Silimit mimbici timin-timin, ihi😁

...

Bagai tersengat listrik saat itu juga. Tasha melirik Varo sekilas dan beranjak menjauhi meja mereka. Ia berlari keluar area kafe dengan air mata yang berderai. Langkahan kakinya terhenti saat tangannya ditarik oleh seseorang dari belakang.

"Aku bisa jelasin, Sha." Tasha menggeleng lemah, pikirannya sudah kalut saat ini.

"Gue mau pulang," titah Tasha yang masih menundukkan kepalanya. "Gue mau lo pergi."

Tasha merasakan cekalan di tangannya terlepas bersamaan dengan jatuhnya Varo di bawah. Ia sudah yakin jika yang melakukannya adalah Ridho dan Fadil. Tubuhnya diringkuh paksa oleh Rie.

"Sha, lo nggakpapa?" Tasha menggeleng sebagai jawabannya.

"Lo ngga bisa gini sama cewek!" bentak Ridho. "Lo nggak seharusnya nyakitin dia!" lanjutnya.

Varo menggeleng lemah di bawah. Dirinya tidak tahu jika ada Tasha di kafe ini. Ia benar-benar bingung harus melakukan apa. Meski hanya tuga hari, sedikit hatinya juga terbuka untuk Tasha. Tetapi, mana mungkin Tasha mau dengannya lagi?

Rie mengajak Tasha untuk minggir ke tempat yang lebih teduh. Diberikannya tisu terakhirnya untuk Tasha. Matanya beredar mencari keberadaan satu sahabatnya, Jia. Dimana anak itu? Jangan-jangan ...

"Kenapa lo biarin aja si tengik deketin Tasha?!" sengit Jia seraya berjalan maju dan di depannya terdapat Kina yang berjalan mundur ketakutan.

"Gu-gu ... e nggak ta ... hu," jawab Kina tergagap. Ia tetap berjalan mundur tanpa tahu ada apa di belakangnya.

"Bruk!"

Tepat saat Kina terjatuh, sosok Varo yang masih dalam perdebatan dengan Ridho dan Fadil langsung berlari menyelamatkan Kina bagai pahlawan kesiangan. "Kamu nggakpapa?"

Kina menggeleng kemudian tersenyum. Tasha yang melihat itu langsung memalingkan mukanya. Hatinya sudah terpaut pada Varo beberapa hari yang lalu. Mengapa nasibnya selalu seperti ini?

"Udah, Sha. Lo lupain aja, dia udah nggak baik buat lo," ucap Rie yang tak henti-hentinya mengelus punggung Tasha untuk menenangkan Tasha. "Lo cari yang baru aja, hehe," kekehnya.

Tasha ikut terkekeh kemudian menyahut, "Ya kali gue langsung cari gitu. Seenak cari upil aja."

Jia berjalan dengan sombongnya melewati Kina yang masih terduduk di dekat tangga masuk. "Kalo kalian berdua ngga minta maaf sama Tasha ...." Ibu jarinya berjalan melewati lehernya seakan mengisyaratkan kematian. "Kalian berurusan sama gue."

Tanpa takut, Kina malah mendorong paksa kedua bahu Jia. Jia hampir saja tergelincir jika tidak bisa menyeimbangkan posisi tubuhnya. Mata Jia langsung berkilat marah, sejurus kemudian tangannya terulur hendak menampar pipi mulus Kina.

Kina memalingkan mukanya, tak lama kemudian tubuhnya telah dirangkul oleh Varo. Ia melirik tangan Jia yang tadi hendak mengenai dirinya. Tangan Jia sudah dicekal oleh Fadil.

"Udah, Ji." Fadil menggiring Jia untuk menjauhi Kina menuju Tasha yang masih duduk di bawah pohon.

"Udahan, Sha?" tanya Rie. "Pulang yuk."

Bukannya beranjak dari duduknya, Tasha malah menekuk kepalanya dan mendaratkannya di atas lututnya. Lagi-lagi matanya mengeluarkan air mata. Tasha tak bisa menghentikan aliran air matanya. Meski hubungannya masih sebiji kacang hijau, dirinya tetap tersakiti.

Rie yang tadi sabar mengelus punggung Tasha kini sudah berganti profesi menjadi penepuk punggung. Tasha merasa ada yang berbeda dengan elusan punggungnya, ia mendongak.

"Yaudah, yuk pulang," ucap Tasha seraya berdiri. "Tapi gue sama siapa?"

"Sama gue."

"Lo masih punya muka?" tanya Rie. "Mending lo pergi, Ro."

Tasha menundukkan kepalanya. Pikirannya bercabang banyak sekali, ia sulit fokus. Tasha hampir terjatuh jika Rie tidak sigap menarik tangannya. "Udah, Sha."

Saat Tasha hendak melangkahkan kakinya, tubuh Kina menghalanginya. Bukannya Tasha yang marah, melainkan Jia yang tadinya berada di belakang Tasha. Ia maju ke depan Tasha.

"Heh! Lo minggir nggak?"

"Jalan masih banyak," ucap Kina enteng.

"Su---"

"Jalan buat lo juga masih banyak," sela Tasha dengan kepala tertunduk, "Minggir, bangs*t!"

Kina tersentak mendengar umoatan yang ditujukan untuk dirinya dari Tasha. Ia tak mengira jika cewek polos yang ia kira bisa menjadi mainan tersebut bisa melonjak.

"Lo kira cewek polos kaya gue ngga bisa ngelunjak?" tanya Tasha pelan.

Kina semakin dibuat bingung dengan perilaku Tasha. Siapa sebenarnya Tasha ini? Cenayang kah? Ia masih di tempat yang tadi, belum bergerak sedikit pun. Ia masih keheranan dan menelusuri setiap inci tubuh Tasha.

"Minggir." Seakan dihipnotis, Kina langsung minggir memberi jalan untuk Tasha. Satu detik kemudian, ia tersadar. Tangannya menggapai bahu Tasha kemudian dihentikannya langkahan kaki Tasha.

"Lo udah ngrebut Varo dari gue," ucap Kina dengan tangannya yang mencengkeram bahu Tasha.

"Gue sama sekali nggak tahu," sahut Tasha sembari menepis tangan Kina. "Kalau gue tahu, gue nggak mau," lanjutnya.

Tanpa pikir panjang, Kina mendorong tubuh Tasha. "Murahan bang---"

"Jaga mulut lo!"

Tasha berjalan bersama Rie menjauhi Kina yang masih mematung di sana. Belum sampai area parkir, lagi-lagi tangan Tasha dicekal oleh seseorang.

"Sha, gue minta maaf," sesal Varo sambil mengulurkan tangannya.

"Lo kira gue bocah teka?" batin Tasha jengkel.

"Udah gue maafin," ucap Tasha mengacuhkan uluran tangan Varo.

Ia beranjak menuju area parkir secepatnya. Kemudian ia segera menaiki motor Rie tanpa helm. Rie langsung melajukan motornya menjauhi kafe yang mulai dari sekarang masuk dalam daftar kafe yang diblacklist oleh Tasha.



Tebece, UwU😘
Gimana part ini? Ngena ngga? Komen dong:)

PELANGI MALAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang