2. Malam Hari

21K 1.3K 8
                                    


Guys jangan lupa baca cerita baru akuuuu "DUNIA DANIA"

-----

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin itu kalimat yang bisa menggambarkan situasi Rani saat ini. Gadis itu sampai di rumah pukul 18.00 dan seharusnya ia tiba di rumah pukul 16.30. Baru kali ini dirinya melenceng jauh dari jam pulang kerja---dikarenakan kehujanan. Belum lagi, ban motornya yang minta diisi angin dulu di bengkel.

Selepas pulang tadi, hujan memang langsung turun dan Rani segera mengurungkan niatnya untuk segera pulang karena tidak membawa jas hujan. Akhirnya, ia memilih untuk menunggu hujan reda di bengkel.

Namun sekarang, Rani sudah pulang. Masuk rumah dengan berjinjit dan menenteng sepatunya yang sedikit basah. Ia segera menuju kamarnya untuk membersihkan diri terlebih dahulu.

Rumah begitu sepi walau ada Mbak Yana, selaku pengurus segala kebutuhan Rani dan Dika. Juga ada Pak Tomi yang menjadi tukang bersih-bersih taman serta kendaraan.

Rani memasuki kamarnya, dengan air hujan yang masih menetes di tepian rambutnya. Membuat Dika menoleh kearah gadis itu ketika sadar pintu dibuka. "Ran," panggil Dika saat Rani selesai menaruh sepatu flatnya di balkon kamar.

Rani menoleh, jika melihat Dika---ia jadi teringat kejadian siang tadi. Ia masih malu, namun bingung untuk menutupi itu.

"Iya?" Dika masih diam setelah Rani merespon ucapannya, bahkan cowok itu malah kembali fokus berkutat pada buku serta laptopnya yang menyala.

"Yaudah."

Itu saja. Rasanya ia ingin menenggelamkan Dika saat ini juga, ditunggu ucapannya justru dengan tampang tak berdosanya cowok itu hanya mengatakan hal singkat demikian.

Rani menggerutu sebal di tempatnya, lalu segera beranjak pergi ke kamar mandi.

Dika melirik pintu kamar mandi yang sudah tertutup, untuk memastikan Rani sudah benar-benar mandi. Cowok itu mendekat ke ujung pintu, bisa didengar jika guyuran air sedang menghiasi ruangan itu. Dika lantas segera keluar dari kamar, dan berjalan menuju arah dapur.

"Mbak, makanan buat Rani tadi mana?"

Mbak Yana sedikit telonjak, baru sadar---ia lantas segera memberikan makanan sesuai permintaan dari Dika tadi. "Ini den, nasi goreng sama teh angetnya," ucap Mbak Yana sambil mengulurkan nampan yang disambut hangat oleh Dika.

Ketika Dika sudah kembali ke kamarnya, Rani masih saja belum selesai dengan acara mandinya. Memang perempuan selama itu ya kalau mandi? Tak mau ambil pusing, Dika meletakkan nampan itu di meja rias Rani agar gadis itu dapat melihatnya.

Setelah beberapa menit, akhirnya Rani keluar. Dilihatnya Dika masih belajar dan tidak bergeming di tempatnya saat tahu ada dirinya juga di kamar itu. Rani mengangkat bahunya acuh, lalu matanya menyipit saat mengetahui sepiring nasi goreng serta segelas teh sudah bertengger manis di meja riasnya.

Curiga jika seorang tersangka yang menaruh makanan ini, Rani menoleh ke arah suaminya yang seolah acuh terhadap hal ini. "Ka!" Panggilan Rani belum juga direspon oleh Dika, gadis itu menggerutu---lalu detik berikutnya barulah ia berani untuk sedikit meninggikan suaranya.

"Dika!"

Benar. Dika menoleh dengan mengangkat satu alisnya. "Kenapa?" Bertanya tanpa rasa dosa. Memang benar, Dika tidak melakukan kesalahan kok.

"Mbak Yana yang nganterin ini?" Cowok itu melirik sekilas ke arah nampan yang dibawanya tadi. Dika berdehem, seraya langsung membalikkan tubuhnya untuk fokus kembali pada tugasnya.

Ha? Jawaban apa itu, Dika?

Rani mencebik, padahal ia ingin tahu siapa yang mengantar makanan ini. Benar Mbak Yana atau justru Dika. Ah, suaminya itu tidak mungkin repot-repot mengambil makanan untuknya seperti ini. Buktinya saja ia nampak tidak mau beralih dari buku tebal di hadapannya.

Meninggalkan tingkah Dika yang menyebalkan, Rani memilih untuk menyantap makanannya dengan sesekali mengoles pelembab diwajahnya. Setelah selesai makan, barulah ia berani untuk bertanya pada Mbak Yana yang kebetulan belum tidur.

"Mbak, makasih ya udah nganter makanan buat Rani."

Mbak Yana mengernyit, wanita itu langsung menjawab, "Tadi yang nganter aden, bukan Mbak Yana." Senyum Rani seketika pudar begitu saja, entah karena Dika yang mengantar atau Dika yang hanya diam ketika ditanya. Entah, pokoknya Rani kesal dengan Dika.

Rani beranjak dari dapur, dan segera menaiki tangga ke lantai dua---menuju kamarnya.

"Ka," panggilnya lagi, dan kali ini Dika sudah selesai dengan acara kencan dengan buku super tebal itu.

Rani berjalan kearah Dika yang tengah duduk bersandar di kepala ranjang sambil menonton siaran televisi. "Ka, bukan Mbak Yana yang nganter makanan itu. Masa kamu nggak tahu siapa yang nganter? Mana mungkin juga piringnya jalan sendiri?" Rani mencoba mengetes Dika, akankah cowok ini akan jujur atau justru tetap berbohong.

"Memang bukan Mbak Yana yang nganter, dan nggak mungkin juga bisa jalan sendiri."

Tepat. Dika mengatakan hal jujur, tapi bagi Rani ucapan tersebut masih menggantung tanpa kejelasan. "Terus siapa?" Dika terdengar menghela nafas sebelum menjawab, "Aku lah." Dengan santai seraya masih sibuk memilah-milah channel.

"Bilang gitu aja gengsinya minta ampun. Dika--Dika," ucap Rani dalam hati sambil tersenyum tipis tanpa disadari oleh Dika.

Suara ponsel yang berdering, membuat Rani telonjak kaget. Apalagi ia ingat betul notif dari ponselnya jika ada panggilan masuk. Dengan cekatan, Rani langsung menyambar benda itu dan memilih untuk mengangkat sambungan telepon di balkon kamarnya sembari duduk di kursi yang memang sengaja disediakan untuk bersantai.

Dika melirik sekilas gerak-gerik dari Rani. Ia heran, mengangkat telepon bisa se-semangat itu. "Apa Rani menang undian satu miliar?" pikirnya dalam hati.

-----

Rani mencoba bersikap biasa saja, ia pikir Rere akan menghubunginya karena akan curhat. Tapi ternyata Heru menelponnya malam-malam begini. Walau tanpa minat, Rani tetap melontarkan kalimat yang bernada sopan serta ramah. Karena, ia menghormati Heru yang lebih tua tiga tahun darinya. Hanya sebatas itu.

"Besok shift apa Ran?"

Basa-basi yang sering Rani dengar ketika Heru akan mengajaknya ngobrol lebih lama lagi.

"Hemm.. tetap pagi bang, mungkin minggu depan baru shift siang."

Di seberang telepon, Heru mengangguk kecil seraya terus tersenyum saat Rani menjawab setiap kalimat yang ia lontarkan.

"Kira-kira, besok setelah pulang kerja. Kamu sibuk nggak?"

Siaga satu. Rani tersenyum getir, cara pdkt ala Heru sudah tertebak. Dulu sewaktu SMA dia juga sering mendapat modusan seperti ini, jadi---tidak perlu kaget. Hanya perlu ikuti saja kemauannya.

"Enggak sibuk, kenapa bang?"
Karena sudah kebal dengan pertanyaan seperti ini. Rani hanya bisa diam, seraya menyandarkan punggungnya disandaran kursi. Serta mendengar jawaban dari Heru.

"Besok ke food festival, mau?"

Rani tersenyum miring, tuhkan. Perkirannya sudah jelas. Heru ingin mengajaknya jalan.

"Oke, setelah pulang kerja kan?"

Setelah mengucapkan hal tersebut dan dibalas, "Iya." dari Heru, Rani akhirnya memilih untuk memutuskan sambungan teleponnya dan beralih menutup pintu penghubung balkon. Karena ia akan segera tidur---capek. Ditambah, mendengar cuitan Heru yang ia iyakan begitu saja.

Dasar Rani.

-----

DIANJURKAN UNTUK VOTE, SEKALIAN COMENT JUGA BOLEH. WKWK..

MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang