"Masa, ulang tahun diem-diem bae sih," sindir seorang cowok yang kini sudah berdiri di depan kelas setelah menyiapkan laptop serta menghubungkannya dengan layar proyektor, karena selepas ini kelas dimulai dan presentasi harian turut berjalan.Merasa tersinggung jika ucapan yang dilontarkan Fadli itu tertuju untuknya, Dika lantas menggeleng pelan sambil berdecak, diikuti pandangan matanya yang tertuju pada Fadli yang akan mendekat ke arahnya itu.
"Dik! Jangan diem aja dong!"
Dika meringis, terlebih setelah Fadli menabok punggungnya, cowok itu seakan tidak puas dan beralih menabok lengannya. "Awas aja lo bilang lagi bokek ... gue nggak bakal percaya!"
"Hadiah aja nggak ngasih, masa minta ditraktir. Nggak tahu diri emang lo ya!," desisnya sambil membenarkan posisi duduk lantaran kedatangan Bu Ulum di ambang pintu membuat beberapa mahasiswa terkejut, grusak-grusuk berlari di kursi masing-masing. Termasuk Dika.
"Awas lo Dik.. pokoknya harus traktir. Nggak mau tahu gue," bisik Fadli setelah mendudukkan bokongnya di kursi samping seseorang yang tengah berulang tahun itu.
Dika menggeleng, memilih acuh mungkin menjadi opsi pertama sebelum opsi kedua memelototi Fadli dengan tampang mencekam. Tidak. Dika tidak akan melakukan itu, karena saat ini ... Fadli sudah terlebih dahulu menatapnya demikian.
Memang, Fadli tipe teman yang tidak tahu akhlak baik di saat salah satu teman tengah berulang tahun. Bahkan, untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun atau panjang umur. Sama sekali tidak dilakukan oleh cowok satu itu.
Apa Dika pantas menyebutnya sebagai teman yang tidak tahu diri?
Bukti sudah jelas jika Fadli sama sekali tidak memberikan ucapan, justru malah memaksa dirinya memberikan traktiran.
Luar biasa kau Fad, salut sekali atas kelancangan Anda.
Kurang lebih setelah dua jam matkul berlangsung, kini tiba saatnya Dika bisa menggerakkan kakinya melangkah, mencoba mendahului Fadli yang sudah meneriaki dirinya untuk berhenti dahulu lantaran ada urusan yang belum sempat Dika selesaikan.
Dika tahu itu urusan perihal apa, bahkan setelah bayangan Fadli menariknya ke kantin terbesit begitu saja di ingatannya, Dika langsung beranjak dari sana.
Namun, ternyata ia kalah cepat dengan jemari orang yang gila gratisan semacam Fadli. "Heh! Mau kemana sih? Buru-buru amat." Kini lengannya sudah berhasil ditarik oleh Fadli. Begitupun dengan beberapa anak kelasnya yang mengikuti ajaran sesat Fadli untuk meminta traktiran pada Dika.
"Katanya Fadli, lo bakal traktir kita Dik," ucap salah satu teman Dika, Lingling namanya.
"Iya, terus juga kita boleh makan sepuasnya."
"Beneran kan? Lagian lo udah janji sama Fadli. Buat nraktir temen sekelas."
Kepala Dika saat ini rasanya nyut-nyutan saat matanya bertemu pandang dengan raut wajah Fadli. Dengan gampang, serta mudah layaknya membalikkan telapak tangan, bisa-bisanya Fadli cuma menyengir memamerkan deretan gigi bringas itu.
Dika tidak habis pikir.
Ia memegangi pelipisnya, yang nampaknya akan kembali merasa pusing saat mendengar semua meminta traktiran padanya. Ucapan saja tidak, ini malah memaksa minta ditraktir. Pengikut Fadli memang ngeselin, seperti tuannya.
"Yaudah, buruan ke kantin sana ... pesen makan sepuas kalian, bilang aja kalau gue yang bakal bayar."
Bukan bermaksud ingin menyombongkan diri jika Dika siap membayar tagihan makan mereka nanti. Hanya saja, cowok itu tidak tahan jika terus-terusan dibuntuti dengan orang yang sejak tadi meminta makan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Teen Fiction[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...