37. Pengakuan Keduanya

4.6K 315 28
                                    


Duduk termenung di pinggiran koridor mungkin bukanlah hal yang pantas untuk laki-laki seukuran Dika yang sudah banyak dikenal berkat juara yang diraihnya pada lomba menulis artikel.

Semenjak saat itu, nama Mahardika kerap kali menjadi sorotan. Bahkan sebagian dari mereka sudah membuat list tertentu jika bertemu dengan Dika.

Semacam fans, tapi Dika menganggap jika dirinya bukanlah seorang yang begitu terkenal seperti Purbo dan juga Risa.

Bicara soal Risa, sepuluh menit yang lalu gadis itu memberitahu dirinya untuk berkumpul di basecamp jurnalistik. Dika menyetujui penawaran gadis itu, setelah kelas usai tadi pun ia segera pergi ke ruangan yang dimaksud Risa.

Pukul 10.30

Harusnya Dika sudah sampai di basecamp, karena matkulnya usai 30 menit yang lalu. Tapi apalah daya, ia harus duduk di tepi koridor sambil menopang dagunya, menunggu teman laknat yang masih berurusan dengan Pak Burhan di ruang dosen.

Siapa lagi kalau bukan Fadli. Tidak ada yang membuat Dika merasa terlantar seperti ini jika bukan temannya yang satu itu.

Fadli yang terkena masalah, Dika yang menahan malu lantaran duduk sendirian seperti orang yang butuh asupan makanan.

"Dik," panggil Fadli setelah keluar dari ruang dosen.

Dika mendengus, hingga berdiri menghadap ke arah Fadli dengan pandangan malas. Ia benar-benar kesal dengan temannya satu ini. Sudah membuatnya menjadi tatapan lapar mahasiswi, eh.. sekarang dengan seenak jidat justru menyengir tanpa dosa.

"Masih mau tidur lagi di kelas Pak Burhan?"

Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Dika, Fadli lantas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hehe.. namanya juga ngantuk Dik, nggak bisa ditahan," jawab Fadli sambil berjalan bersisian dengan Dika, menuju parkiran. Untuk pulang.

"Boker aja bisa ditahan, masa ngantuk nggak bisa," cibir Dika bersamaan dengan tangannya yang terulur untuk membuka pintu mobil.

"Beraninya ngatain, cih ... apaan coba."

Walau menggerutu pelan, tapi Dika masih bisa mendengar Fadli mengatakan apa. Mencoba meledeknya.

Tidak mau merespon berlebihan, Dika hanya mengangguk sambil berdehem pelan. "Terserah lo Fad, asal lo seneng."

-----

Kumpul yang awalnya dijadwalkan pukul dua siang, tiba-tiba saja berpindah haluan menjadi pukul empat sore. Untung Dika belum pulang ke rumah, ia masih di kost Fadli. Mungkin jika ia sudah sampai rumahnya, bisa jadi Dika ketinggalan informasi mengenai lomba fotografi untuk festival musik bulan depan.

Sedari tadi, Fadli sudah memberitahunya untuk menyiapkan diri agar bisa ikut lomba tersebut.

"Lumayan Dik, kalau lo menang ... bisa beli kambing dua ekor," ucap Fadli beberapa menit lalu setelah Purbo berhenti mengatakan perihal info tersebut.

Sebenarnya, Dika bukanlah penikmat hobi maupun orang yang sudah pro dengan bidang tersebut. Ia hanya kebetulan saja waktu itu, tidak sengaja membidik penjual jamu keliling yang menyebrang jalanan di sore hari.

Saat itu, Dika hanya iseng saja meng-uploadnya di sosial media dan tidak lupa memberikan tagar pada dinas setempat untuk diikutkan lomba fotografi sebagai bentuk keikutsertaannya dalam HUT kota kelahirannya.

Dika tidak menyangka, sejak saat itu dirinya menjadi dikenal sebagai mahasiswa jenius sekaligus misterius, karena tidak pernah menampilkan foto wajahnya di akun sosial media miliknya.

Namun, setelah Fadli tiba-tiba saja membongkar status Dika sebagai orang misterius tersebut sewaktu ospek ... hancurlah pertahan para maba cewek waktu itu. Semua langsung terpanah melihat juru foto dibalik gambar-gambar ciamik yang diambil cowok itu.

MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang