Mata kuliah hari ini telah usai, ditutup dengan ketidak hadirannya Bu Susi di jam empat sore. Dika merasa sangat bersyukur kala mengetahui kabar ini dari salah satu temannya. Karena, di balik kesenangannya kali ini ia menyembunyikan sesuatu hal yang lumayan sensitif jika nanti Dika ceritakan pada Fadli.Dika tidak akan memberitahunya, karena ia yakin jika menyangkut soal Risa, Fadli akan kegirangan sambil menarik-narik lengannya untuk bertemu dengan gadis itu.
Tapi, hari ini tidak. Dika tidak akan memberitahu Fadli jika ia tengah berbohong kala cowok itu menanyakan perihal, "Kenapa nggak ikut ke persiapan festival musik?" Dika menggeleng sembari meletakkan buku-buku tebalnya untuk masuk ke dalam tas.
Ada hal yang lebih genting daripada sekedar melihat orang-orang berlalu lalang di festival musik yang akan diadakan beberapa hari lagi. Baginya itu tidak penting, mengapa Fadli terlalu repot untuk mengajaknya pergi ke sana?
Untuk saat ini, mungkin menolong seseorang setelah beberapa hari lalu ia melihat sendiri gangguan yang diterima selepas berdebat dengan mantan, mungkin membuatnya lebih mengutamakan hal itu.
"Dika!" panggil Fadli saat Dika sudah berada di ambang pintu. Merasa terpanggil untuk yang ke sekian kalinya, cowok itu lantas menoleh, menanggapi Fadli yang mendekat ke arahnya dengan mengangkat sebelah alisnya.
"Lo nggak mau cek panggung?"
Sekarang Dika benar-benar dibuat bingung dengan pernyataan Fadli barusan. Dirinya bahkan tidak ikut serta dalam mengisi acara tersebut. "Cek panggung untuk apa?" tanya Dika yang kini tengah kebingungan.
"Ya, biar lo nggak gugup aja waktu nerima trophy di atas panggung gede yang dilihat sama banyak orang."
Dika kira, Fadli sudah tega mengajukannya sebagai bintang tamu dadakan nantinya. Namun, ternyata ia salah mengira. Fadli hanya menyuruhnya cek panggung untuk sekedar melihat situasi bagaimana nantinya jika ia memenangkan trophy lomba fotografi.
Tidak habis pikir Dika dengan temannya yang satu ini.
"Mending lo aja yang cek panggung, siapa tahu lo tiba-tiba aja disuruh maju."
"Yang bener aja, ngapain juga gue ke atas panggung. Nggak jelas lo!"
"Ya, siapa tahu nanti ada keamanan yang berhasil nangkap buronan."
Fadli membelak saat sempat beberapa menit terdiam kala mencerna ucapan Dika barusan. Apakah ia disamakan dengan buronan? Wah, Dika rupanya sudah berhasil membuat dirinya menggeram.
"Gila lo! Nggak ada otak emang!"
Di sela-sela langkahnya yang sudah menjauh dari Fadli, Dika masih samar-samar mendengar kalimat bernada pedas itu keluar dari mulut sahabatnya. Ia yakin jika itu hanya sepenggal kalimat yang sudah sering di ucapkan oleh kebanyakan remaja di jaman sekarang ini.
Namun, Dika tidak percaya jika setelah ini Fadli akan mengucapkan kalimat tersebut dengan nada yang masih ia tangkap sebagai candaan semata.
-----
Perlu berpikir ribuan kali untuk memutuskan melangkahkan kakinya di koridor gedung Triangkasa lantai 5. Karena cukup sepi, dan juga jarang sekali ada kelas ketika jam sore seperti sekarang, maka Dika menerima saja tawaran dari Risa untuk menemuinya di sana.
Awalnya, Dika kira gadis itu akan menceritakan mengenai keadaan dirinya yang sudah membaik lewat telepon kemarin malam.
Namun, segala perkiraan Dika salah. Kemarin Risa memberanikan dirinya menelpon Dika untuk memberitahu jika ia kembali mendapat ancaman dari Agas. Tapi yang membuat Risa menghubungi Dika, lantaran cowok itu tidak hanya memberikan ancaman untuknya saja. Melainkan Dika juga terkena imbasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Roman pour Adolescents[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...