Sepertinya, saat ini bukan waktunya untuk mengeluh tentang keadaan yang sudah menghantui Rani selama beberapa bulan belakangan. Dirinya menjalani pekerjaan ini atas kemauannya sendiri. Jadi, Rani juga harus siap menanggung segala resikonya.
Salah satu yang membuat karyawan di sini merasa mengeluh adalah, tidak adanya kata libur di hari weekend. Malahan, di hari-hari seperti inilah toko semakin ramai.
"Selamat pagi ibu, barangkali mau tambah beli biskuitnya? Kebetulan hari ini lagi ada promo beli 1 gratis 1, sebelum itu ada kartu membernya?"
Lulusan S3 marketing.
Wanita paruh baya yang menjadi customer Rani kali ini menolak kedua pertanyaan tersebut dengan menggelengkan kepala.
Rani tidak merasa tersinggung jika apa yang sudah ia promosikan mendapat penolakan. Karena itulah namanya berdagang, kadang laku kadang juga tidak.
"Totalnya seratus lima puluh lima," ucapnya kembali setelah barang-barang tadi sudah masuk dalam kantung dan komputer di depannya menampilkan tagihan yang harus dibayar.
Customer tersebut beranjak setelah memberikan uangnya dan menerima kembalian. "Terimakasih," lanjut Rani.
Kasir sepi, namun orang-orang yang berada di lorong masih begitu banyak. Hingga ia berulang kali melihat Heru wara-wiri kesana kemari sambil membawa beberapa barang yang hendak di cek harganya.
"Ran, sepuluh menit lagi kamu tutup kasir ya. Bantuin saya packing, biar kasir kamu nanti digantiin sama Bu Ismi."
Rani menoleh ketika Arum melontarkan ucapan demikian padanya. "Oh iya Mbak," sahutnya begitu ramah.
"Nanti rehat di cafe baru, mau nggak lo?"
Rani sedikit tersentak saat Dimas tiba-tiba saja muncul di belakangnya dengan menodongnya sebuah pertanyaan demikian. Ia lantas mendengus dan berdehem pasrah lantaran Rani lebih mementingkan customer yang baru saja masuk kasirnya.
"Cih, dicuekin!"
Rani menatap sinis ke arah Dimas, "Mending bantuin packing, tanpa protes."
Dimas yang memang sedang menghindar dari lorong itupun memilih membantu Rani karena kebetulan ia melihat begitu banyak barang belanjaan customer di depannya.
"Kurang baik apa gue sama temen?"
-----
Mungkin julukan kebo tepat disematkan kepada Fadli. Mengapa tidak?
Cowok yang satu itu seakan tidak mengaca dengan dirinya sendiri. Kemarin Fadli yang gembor-gembor di chat agar Dika datang ke kost-nya pagi-pagi hari. Niatnya sih, ingin membeli perlengkapan untuk acara pada hari sabtu mendatang.
Tapi justru Fadli yang bangun kesiangan. Ternyata, sekali kebo tetap kebo.
"Fad, mau gue bacain yasin atau langsung gue salat-in aja?"
Kali ini Dika masih santai, emosinya belum meletup-letup ketika melihat temannya yang satu ini tidur dengan seenak jidat tanpa peduli jika Dika sudah menunggu dirinya di samping cowok itu.
Benar-benar tidak tahu diri Fadli.
"Kak Risa, i love you.."
Dika mengernyit saat mendengar dengkuran yang diiringi ucapan Fadli antara tidak sadar atau mungkin memang benar-benar sadar.
Eh, tunggu..
Kalau Fadli mengucapkannya secara sadar dan tidak mengingau, jadi Dika di bohongi oleh anak kadal yang satu ini. Wah, tidak beres.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Fiksi Remaja[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...