Ini kali kedua Dika membuat kesalahan terhadap leher jenjang istrinya. Ia tidak memungkiri jika setiap kali dekat dengan Rani, suasana hatinya menjadi berubah dan gemuruh dalam dadanya selalu saja bersikap aneh. Seakan meledak jika Dika terus-terusan menatapnya.Dika sedari tadi masih mencoba meminta maaf walau Rani hanya menatapnya sekilas, sambil berdehem. Dan berlalu, meninggalkan Dika yang berdiri di ambang pintu kamarnya.
Rani sedikit kesal dengan kelakuan Dika yang katanya, secara spontan tersebut. Dia kaget, terlebih setelah cowok itu membuat tanda kemerahan di lehernya, ia menjadi was-was jika nantinya akan ada orang yang tidak sengaja melihat.
Terlebih, Rani kerja. Pastilah ia bertemu dengan orang banyak. Apa yang mereka pikirkan ketika melihat kiss mark di leher Rani?
Sebisa mungkin, ia menyembunyikan hal itu. Terakhir kali sebelum kejadian ini terulang kembali, Rani menutupinya dengan rambut yang sengaja ia urai dan juga sedikit berjaga jarak dengan temannya. Terlebih, saat mengetahui jika bekas itu sangat susah hilang.
Mungkin memerlukan waktu beberapa hari.
Dan, kemarin. Dika mengulanginya kembali dengan alasan yang sama.
"Daripada cuma ngomong nggak jelas gitu, mending kamu mandi deh Ka." Rani sudah muak saat Dika mengikuti dirinya duduk di depan meja rias.
Jujur, Rani malah terkesan risih jika Dika terus-terusan mengemis maaf padanya. Padahal ia sudah cukup menerima hal tersebut, baginya itu hal wajar yang dilakukan ketika seorang laki-laki tengah berada di dekat perempuan.
Apalagi, mereka sudah suami-istri. Sudah sah. Dan tidak masalah jika hal semacam itu terjadi.
"Serius nih, aku beliin siomay lagi deh ya."
"Yang lain aja, jangan siomay mulu. Bosan." Rani menutup laci mejanya, tangannya terulur untuk mengambil tas dan bangkit dari duduknya. Diikuti Dika yang mendongak, menatap dirinya seperti anak kecil yang sangat berat ditinggal pergi Ibunya ke pasar.
"Hari ini ada kuliah kan?"
Dika mengangguk, persis seperti anak laki-laki yang menurut dengan ucapan orang tuanya.
"Buruan mandi."
Pemuda itu tidak lagi mengangguk, kepalanya bergerak untuk menggeleng pelan. "Masih dingin," gerutunya setelah membuang napas berat.
"Nungguin anget sampai lebaran monyet pun nggak bakal bisa Ka."
"Bisa, kalau ada yang manasin."
"Kamu aja sana yang panasin."
Dika menatap gadis di hadapannya dengan pandangan sayu. Ia ingin disiapkan air hangat seperti pasangan romantis pada umumnya. Kenapa Rani tidak peka? Biasanya gadis itu yang sangat gencar membuatnya lebih peka.
Namun sekarang, justru kebalikannya.
"Yaudah, aku nanti ke bawah sekalian suruh Mbak Yana nyiapin air hangatnya."
Dika tidak lagi menggerutu ataupun protes. Dirinya berpikir tidak salah juga ide Rani tersebut. Bahkan ia lupa jika ada Mbak Yana yang sering membantu keduanya.
Wah, memang benar. Efek terlalu dekat dengan Rani bisa membuatnya lupa jika dunia bukan hanya milik mereka berdua.
Rani hendak beranjak setelah melihat jam yang melingkar di pergelangannya.
Namun, belum juga ia menginjakkan kakinya di langkah pertama, Dika sudah lebih dulu menghadangnya dengan sebuah kedua tangan cowok itu yang melingkar di pinggangnya. Lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Ficção Adolescente[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...