39. When I Say ...

4.5K 307 14
                                    

Kakinya berhasil menapaki lantai kamar, setelah pulang dari urusan kerjaannya. Rani berjalan ke arah ranjang, handuk yang tadi ia ambil di gantungan baju digunakannya untuk mengeringkan rambut.

"Rani," panggil Dika sambil mendudukkan dirinya di samping gadis itu.

Rani menoleh, tangannya berhenti untuk bergerak mengeringkan rambut. Handuknya, ia letakkan di samping pahanya ... seraya menatap Dika penuh kebingungan dengan alis yang terangkat sebelah. "Ada apa Ka?" tanyanya pelan, kakinya ia silangkan mengikuti Dika yang sudah melakukannya beberapa menit yang lalu. Sehingga kini keduanya sudah saling berhadapan.

"Kenapa?" tanyanya lagi, kini jemari gadis itu sudah menyisir pelan rambut Dika yang lumayan berantakan lantaran habis bergulung di sofa ruang keluarga.

Bukannya menjawab, Dika justru memilih diam sambil memejamkan matanya. Ia menikmati setiap sentuhan Rani di rambutnya, terasa begitu nyaman ... bahkan Dika sempat berpikir jika itu lantaran efek dirinya yang sudah lama tidak diperhatikan langsung oleh sang Mama.

Namun, kenyataannya tidak. Dika memang merasa nyaman bila dekat dengan Rani.

Iya, itulah yang dia rasakan saat ini.

Rani tertawa, tepat setelah perut Dika mengeluarkan bunyi khas seorang kelaparan, hingga kedua tangan cowok itu sudah melingkari perutnya. Seolah menutupinya dari Rani, padahal kan itu mengeluarkan bunyi ... bukan mengeluarkan daging. Aneh.

"Lapar ya?"

Dika menyengir, lalu mengangguk, bersamaan dengan Rani yang tertawa pelan sambil berjalan ke luar. Dika mengikuti Rani, bahkan saat gadis itu masih mengambil vas bunga yang harusnya terletak di meja ruang tamu itu pun Dika masih mengikutinya. "Kenapa ngikutin Ka?" tanya Rani sesaat berbalik ke arah cowok itu.

"Biar nggak ilang."

"Masa ilang di rumah sendiri sih, aneh banget kamu," cibir Rani seraya melangkahkan kakinya ke dapur.

Dika mengangkat bahunya acuh saat kembali mengekor Rani di belakang. Yang penting, dirinya ikut saja.

"Mau makan apa?" tanya Rani, matanya sudah menjelajahi segala alat-alat serta bahan makanan yang berada di dapur.

Dika belum menjawab, dirinya justru mengikuti arah kemana kaki Rani melangkah, hingga gerak-gerik dari gadis itu pun Dika selalu memperhatikannya. "Sawi buat apaan?" tanya Dika setelah melihat Rani mengambil satu ikat sayuran tersebut dari kulkas.

"Ya dimasak lah," balasnya sewot.

"Lah, bisa masak?" Dika mendekat ke arah Rani, mencoba memastikan kebenaran mengenai gadis itu.

Dirinya masih belum yakin jika Rani bisa masak, atau mungkin membuat nasi goreng seperti yang dilakukan Mbak Yana selama ini. Dika belum tahu, Rani bisa dalam urusan dapur atau tidak.

"Ya bisalah," jawab Rani setelah memotong cabai dan juga bawang.

Dika tersenyum tipis, ia kira Rani tidak bisa memasak, seperti yang dikatakan Iren waktu keduanya akan tinggal bersama di rumah hadiah pernikahan mereka ini.

Saat itu, Iren memang mengatakan jika Rani tidak bisa memasak, "Nyalain kompor aja harus teriak minta bantuan ke Bunda," ucap mertuanya itu diiringi tawa yang membuat Dika tersenyum canggung ke arahnya.

Bahkan, kalimat yang sepertinya tersirat akan makna itu benar-benar terjadi saat Dika sudah satu rumah dengan Rani. Tidak pernah sekalipun dirinya melihat Rani berkutat di dapur, atau mungkin menyiapkan makanan untuknya.

Tidak. Dika tidak pernah melihat itu. Selama ini, hanya Mbak Yana lah penolongnya dan juga Rani di saat kelaparan seperti ini.

Namun, hari ini, malam ini, detik ini juga ... Rani membuatnya sedikit membelak lantaran kepiawaiannya dalam mencincang hingga memasukkan beberapa bahan pelengkap tadi ke dalam minyak panas.

MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang