Hubungan Rani dan juga Dika sedikit mendapat titik terang setelah kegundahan Rani minggu lalu mengenai Keira yang menelfon Dika.
Rani mengatakan yang sejujurnya jika dirinya benar-benar cemburu. Dika bahkan sempat terdiam saat ketika mengetahui Rani mengucapkan hal itu tepat di depannya. Ia sempat berpikir jika Rani juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
Rasa cinta yang sesungguhnya.
Hari ini, Dika bangun lebih cepat dari biasanya lantaran ada beberapa tugas yang belum sempat ia kerjakan kemarin. Ia begitu menyesal karena ulah Fadli yang menyuruhnya untuk ikut kumpul di UKM jurnalistik.
Iya, Dika memilih mengikuti kemana arah kaki Fadli melangkah. Termasuk mengikuti kesukaan sahabatnya itu.
Sungguh, sahabat yang pengertian.
Dika sesekali melirik ke arah Rani yang masih nyaman bergelung tanpa peduli jika ini sudah memasuki pagi hari. Gadis itu seakan menikmati setiap mimpi-mimpinya dan tidak mau jika terbangun saat ini juga.
"Perdagangan ilegal marak dan susah untuk ditebas." Dika membaca artikel di laptopnya. Ia diberi tugas oleh dosennya untuk mencari tahu mengenai beberapa perdagangan yang menyalahi aturan hukum negara. Termasuk artikel yang ditemukannya beberapa menit yang lalu.
Ia mengambil bolpoin dan bindernya, menyalin beberapa kalimat yang dianggap penting untuk diserahkan kepada dosen nanti.
Rani bergerak gelisah di kasur, ia mengucek-ngucek matanya sebelum menanyakan, "Tumben udah bangun, kesambet apaan Ka?" Merasa diajak ngobrol dengan gadis di sampingnya, Dika segera menoleh ketika Rani sudah menegakkan tubuhnya---ikut menyandarkan punggung seperti yang dilakukan Dika.
"Ngerjain tugas, aku kemarin lupa soalnya."
Rani sempat diam beberapa saat, cowok yang rajin seperti Dika ternyata juga pernah kelupaan mengerjakan tugas. Rani pikir, itu hanya berlaku bagi orang-orang malas sepertinya saja.
Rani menyibak selimutnya, lalu langkah kakinya ia arahkan menuju toilet. Beberapa jam lagi Rani akan berangkat kerja, mungkin Dika juga demikian---berangkat ke kampus di pagi hari.
-----
Antara nyawa dan raga, Dika bahkan berani bertaruh agar keduanya bisa selamat dari terkaman waktu. Bukan tanpa alasan dirinya panik seperti ini. Hanya saja saking asiknya mengerjakan tugas, hingga Rani menegurnya beberapa jam yang lalu, Dika seakan tidak peduli dengan keadaan sekitar.
Dan jadi lah sekarang, pemuda itu terlambat masuk kelas. Entah, hukuman apa yang diterimanya kali ini. Ia hanya berdoa agar tidak dikeluarkan dari kelas, lantaran sia-sia juga Dika mengerjakan tugasnya jika tidak dikumpulkan.
Fadli calling
Dika bergerak gelisah ketika berada di dalam lift, di tambah lagi dengan adanya panggilan dari Fadli. Membuantnya tambah panik saja.
"Hallo Fad, udah mulai kelasnya?" Dika akhirnya mengangkat sambungan telepon tersebut, bertepatan dengan pintu lift yang sudah terbuka lebar.
"Buruan ke kelas Dik, mumpung Pak Burhan lagi ke ruang dekan."
Wah, nampaknya Dika mendapat titik terang kali ini. Dirinya jelas tidak mau menyia-nyiakan hal itu, dan memilih untuk tancap gas ke ruangan yang bertuliskan E515.
Dika mematikan sambungan pada ponselnya, dan memilih untuk terfokus dengan bakatnya yang terpendam selama hampir 18 tahun. Apa lagi kalau bukan lari. Cowok itu bahkan cukup lega ketika Pak Burhan belum juga menampakkan wajahnya di kelas.
Manjur juga jurus larinya.
Fadli mendekat ke arah Dika, setengah berbisik agar cowok itu mendengarnya ketika berucap sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Teen Fiction[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...