Rani tidak peduli dengan Dika yang masih saja sibuk menerima telepon dari salah satu temannya. Gadis itu justru acuh dan memilih untuk memakan martabak serta es krim yang sudah Dika belikan.
"Gue udah terlanjur beli tiket ke Bandung Dik."
Rani mendongak saat mendengar suara dari sambungan telepon Dika yang begitu terdengar jelas di telinganya.
Tangan Dika mencomot potongan martabak dan ikut menyilangkan kakinya di ranjang, mengikuti Rani yang sudah duluan bertengger di posisi seperti ini.
"Terus gimana dong Fad? Masa iya gue balikin sendiri?"
Dika menyambar es krim yang hendak masuk ke mulut Rani, cowok itu bahkan tidak peduli dengan gadis di hadapannya yang sudah bersiap dengan mulut yang terbuka.
Ngeselin banget Dika.
"Udah gue chat, tapi nggak dibales."
Rani belum mengucapkan satu katapun, ia memilih untuk kembali mengambil martabak. Namun kali ini Rani membawa seluruh martabak yang berada di kardusnya itu dalam pangkuannya, seolah Dika tidak boleh mengambilnya.
Dika mencoba meraih martabak itu, dirinya hanya perlu secuil saja untuk mengganjal perut. Tapi sepertinya Rani tidak memberikannya izin menyentuh makanan yang sudah menjadi milik gadis itu. "Ih apaan sih, nggak boleh!"
Pelit. Dika baru tahu jika selain gampang sekali ngambek, Rani juga begitu perhitungan.
"Beli sendiri sana!"
Dika meringis saat punggung tangannya kena tabok langsung dari Rani.
"Dikit aja," bisiknya agar Fadli tidak mendengar suaranya yang tengah memperjuangkan hak milik martabaknya.
Rani menggeleng, gadis itu malah menjulurkan lidahnya dan kembali makan. Namun kali ini Rani seolah bergerak lambat ketika mengarahkan makanannya ke mulut. Semacam adegan slow motion di film-film. "Hmm.. enak banget."
"Ih, Dika!" teriak Rani saat mendapati tangan Dika yang berhasil merebut paksa martabaknya hingga dibawa kabur ke balkon sambil tetap menelepon Fadli.
"Ah, ngeselin lo baru ngasih tahu hari ini."
Dika membuang napasnya, "Gue lupa Fad," ucapnya sambil mengamati Rani yang menyusulnya dengan raut wajah cemberut.
"Dika, mata kamu nanti juling loh kalau udah ngasih terus diminta lagi, awas kena azab." Rani seakan menakut-nakuti Dika yang begitu santai dengan kehadirannya saat ini. Cowok itu bahkan memilih untuk merespon setiap ucapan dari Fadli.
Rani mendengus, dirinya benar-benar jengkel dan memilih untuk masuk ke dalam kamarnya dengan mengunci rapat-rapat pembatas antara kamar dan juga balkon.
"Kamu tidur aja di luar!"
-----
Di malam dingin ini, ku duduk seorang diri.
Terdengar sayup alunan lembut nada sebuah melodi.
Teringat aku akan suatu memori indah.
Yang akan selalu kuingat sampai mati.
Mungkin lirik lagu yang sengaja Dika setel di ponselnya merupakan penggambaran tentang keadaan dirinya kemarin.
Malam yang dingin membuat dirinya berkali-kali menghela napas, terlebih ketika menghadapi Rani yang ngambek membuatnya tidak habis pikir mengapa bisa dirinya dikunci begitu saja di balkon kamar.
Untungnya, kunci serep yang kebetulan berada di bawah pot bunga Dika manfaatkan untuk membuka pintunya. Jadilah, ia tidak menginap di luar kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Novela Juvenil[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...