Acara pengukuhan calon anggota jurnalistik yang di selenggarakan dua hari lagi membuat Fadli sedikit was-was ketika Dika membaca mengenai daftar acara di grub whatsapp."Masa harus jurlit malam sih, gila aja."
Dika mendongak, menatap Fadli yang kini sudah menggaruk-garuk belakang kepala yang mungkin saja tidak gatal. Hanya kesal saja.
"Gitu aja udah ngeluh, gimana mau dapetin hati Kak Risa."
Mendengar nama Risa disebut, membuat Fadli dengan cepat membekap mulut Dika yang begitu ember. Cowok itu seakan tidak tahu situasi di mana kini mereka berada.
Jelas, keduanya tengah berada di kantin kampus.
"Mulut lo bisa direm nggak sih?!" sungut Fadli sambil memelototi Dika yang akan menyendokkan nasinya ke mulut. "Ganggu aja lo!"
Fadli menggeram, ia mengamati sekitar. Semoga saja dengan keadaan banyaknya orang disini, tidak membuat mereka sepenuhnya mendengar apa yang sudah Dika lontarkan.
"Kalau mau bicarain soal Kak Risa, jangan disini," bisik Fadli sembari mencondongkan wajahnya ke arah Dika. "Awas aja ya! Sekali lagi ngomongin Kak Risa lagi, gue tampol muka lo!"
Dika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak peduli dengan segala bentuk ocehan hingga ancaman yang Fadli tujukan padanya. Tidak. Dika tidak takut dengan tatapan yang tidak ada horor-horornya itu.
Sama sekali tidak pantas mengancam seseorang.
"Tapi Fad, lo bakal nglakuin apa yang pernah gue saranin waktu itu kan?"
Sejenak, Fadli diam. Pikirannya ikut mencerna kembali ucapan Dika minggu lalu untuk mendekati segera Risa. Karena, gadis itu tengah mengalami sedikit kegalauan. Kata Dika begitu, tapi entahlah kebenarannya seperti apa.
"Gue suka deg-degan kalau deket-deket sama Kak Risa.." Fadli menghembuskan napasnya dalam-dalam, lalu mebuangnya begitu saja lantaran ia kembali berucap sesuatu, "rasanya kaya ada kupu-kupu terbang di perut gue. Sampe bikin nih jantung jedag-jedug mulu."
Fadli begitu menjiwai saat mengungkapkan itu pada Dika. Dirinya juga menunjuk-nunjuk dadanya, seolah letak jantungnya memang berada di sana.
"Gue cuma saran sih Fad, buruan lo gerak cepat. Sebelum disalip sama orang."
Fadli memilih untuk menopang dagunya. Matanya ia arahkan ke langit-langit plafon kantin seakan cowok itu masih berpikir dua kali untuk mendekati Risa secara terang-terangan.
Karena sebenarnya, Fadli lebih nyaman untuk mencintai seseorang dalam diam. Dan berjuang di sepertiga malam layaknya orang-orang ter-uwuw di masa sekarang ini.
Dika tidak tahu apa lagi yang dipikirkan Fadli saat ini. Padahal dulu dia sendiri mengatakan kalau menyukai Risa. Tapi sekarang, Fadli malah menciutkan nyalinya.
Apa ini yang namanya lain di mulut lain juga di hati?
"Fad, lo masih belum yakin?"
Fadli menggaruk-garuk kepalanya kembali, "Bukan gitu Dik, gue tuh.."
"Kalau lo nggak mau deketin Kak Risa, biar gue aja yang maju."
-----
Tadi Rani terpaksa meminta Pak Tomi untuk mengantarnya berangkat kerja.
Motor kesayangan Rani sebenarnya ada di rumah, tapi keadaan ban motor yang lagi-lagi bocor membuatnya harus mengganti ban baru. Dan sekarang, salah satu kendaraan pribadinya itu masih berada di bengkel.
Rani tadi memang tidak memberitahu Dika bila dirinya diantar oleh Pak Tomi. Ia tidak sempat bertemu dengan cowok itu, karena ia tadi bangun kesiangan dan langsung bergegas berangkat kerja begitu saja tanpa menyadari ada satu chat masuk dari Dika.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Fiksi Remaja[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...