Tepat ketika jam dinding yang berada di ruang tamu menunjukkan pukul tujuh malam, kaki Dika baru saja melangkah untuk membuka pintu kamarnya.Tas ranselnya ia lempar begitu saja ke sofa. Tak lupa pula ia duduk ketika menyadari jika sepatu yang dikenakannya sedari tadi belum terlepas. "Pantas saja begitu berat." Dika mendesis di sela-sela aktifitasnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sedari tadi pandangannya tidak terlepas dari istrinya, lantaran gadis yang tengah asik dengan dunianya sendiri itu seakan tidak menyadari kehadirannya.
Dika berdehem pelan, berniat membuat Rani menoleh ke arahnya dengan senyuman merekah menyambut kepulangannya.
Namun, ekspetasi Dika hanyalah angan belaka. Rani sama sekali tidak berkutik dari layar laptop yang menampilkan sebuah film dari negara luar.
Dika kembali berdehem, kali ini lumayan ia tinggikan dan juga sudah beberapa kali cowok itu gumamkan.
Tapi, nihil. Rani sama sekali tidak meresponnya.
Dika lantas beranjak dari sofa setelah berdecak beberapa detik lalu. Ia berdiri di samping Rani yang tengah menonton dengan laptop miliknya di atas ranjang.
"Ran, aku pulang nih."
Entah jin mana yang merasuki Dika saat ini, hingga mulutnya berucap demikian tanpa direncanakan terlebih dahulu. Padahal tadinya, Dika tadi ingin menegur Rani karena sudah menggunakan laptopnya tanpa ijin. Tapi kenyataannya begitu berbeda, mulutnya seolah ingin berucap sesuai kata hati Dika.
"Cowok brengsek!"
Kening Dika sukses mengernyit, umpatan tadi diperuntukkan padanya atau pada cowok-cowok tampan pemain film tersebut? Jika benar Dika mendapat umpatan demikian, memangnya ia salah apa?
Dika yang tengah kebingungan itu pun menempelkan punggung tangannya pada kening Rani, layaknya seseorang yang mengecek suhu orang terdekatnya. Nah, kali ini Dika melakukan hal itu.
Hanya memastikan saja jika Rani tidak kumat di saat yang tidak tepat seperti ini.
Menyadari adanya kehidupan di sampingnya, Rani mendongak dengan cepat seraya menjauhkan tangan Dika yang sempat menempel di keningnya beberapa detik yang lalu.
"Loh, kok pulang?" kesal Rani saat melihat Dika sudah berdiri di hadapannya.
Tunggu, Dika yang salah dengar atau Rani yang salah lihat?
"Masa suami udah pulang nada bicaranya gitu sih."
"Harusnya gimana dong?" sahut Rani sambil menutup laptop milik Dika dan ikut berdiri guna mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Dika yang memang sudah berada di sini entah sedari kapan.
"Ya masa harus aku contohin."
"Iya, kan kamu yang minta."
Dika berdecak, sepertinya ia harus mengakhiri obrolannya dengan Rani kali ini. Ia tidak mau terlibat percecokan malam hari.
Kepalanya menggeleng-geleng pelan, tangannya pun sempat terulur untuk mengacak-acak puncak kepala Rani sebelum ia maju dan menempelkan tubuhnya dengan Rani. Seolah dia sedang memeluk gadis itu.
"Dikaa!" teriak Rani sambil mencoba melepaskan tindakan Dika yang terlalu mendadak itu, dirinya masih belum siap.
Tapi, di luar itu semua. Ada satu lagi yang membuat Rani ingin segera menjauh dari Dika. Bau asem. Pemuda itu sepertinya sengaja menyalurkan keringatnya agar Rani juga turut mencium keringat pertanda kelelahannya tersebut.
Kalau begini namanya, Rani bisa mabuk. MABUK AKIBAT BAU BADAN.
"Dika! Bau banget sumpah!" sungut Rani sambil menginjak kaki Dika dengan sangat-sangat disengaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR [Rani & Dika] TERBIT✅
Novela Juvenil[Sudah tersedia di shopee] Maharani dan Mahardika dijodohkan, lalu menikah selepas wisuda kelas 12. Kehidupan setelah menikah, dilalui keduanya dengan santai layaknya teman biasa. ----- "Kamu apain leher aku?" Rani bertanya sambil menatap Dika yang...